(11)

63 41 49
                                    

Vote sebelum baca

Follow me for more stories

*****

Langit mulai menenggelamkan mentarinya, pertanda hari mulai berakhir. Sementara Faya masih setia meringkuk di tempat tidur Unit Kesehatan Kampus (UKK).

Tidak, bukan karena migrainnya makin parah, melainkan karena partikel-partikel penyusun jiwanya tak lagi bugar. Ia tak tahu, takdir macam apa yang membawanya ke peristiwa ini. Kecerobohan, malu-malu kucing, sensibilitas, dan semua hal random begitu menusuk citra dirinya. Nalar Faya sudah benar-benar terganggu.

"Faya, lo 'tuh kenapa bego banget, sih?" celetuk Faya kepada dirinya sendiri.

Tangannya tak kuasa menggaruk kepala yang tak gatal itu, sejak dua jam lalu. Betapa tidak? Satu lagi hari sial harus ia lewati. Hari yang tentu saja ada Kathir di dalamnya.

Kala dirinya beranjak dari kerumunan mahasiswa, Faya sudah melewati fase malu pertama, di mana ia dihadiahi teriakan oleh senior dan juga maba yang terkejut, karena dirinya pergi begitu saja. Namun, menurut Faya apa yang dilakukannya itu merupakan salah satu cara untuk meminimalisir kejatuhan harga dirinya. Jika ia pingsan, dengan posisi Kathir berada di depannya, lalu menampakkan muka dungu tak terkontrol, apa dipikiran Kathir nantinya? Untungnya, berhasil. Kisahnya tadi tak seperti sinetron dramatis dengan ending pergendongan duniawi antara dua tokoh utama bak pangeran dan permaisuri.

Faya mengira dirinya akan tenang di UKS. Sayangnya ia salah kira.

"Gue dipercayain sama anak-anak buat nyusul lo ke sini. Kebetulan petugasnya hari ini lagi cuti." Kathir menyodorkan segelas teh manis hangat kepada seorang gadis yang tengah melongo. Tak menyangka bahwa Kathir akan bertindak sejauh ini.

"Ka ... Ka ... Kak Kathir, aku kira Kakak tadi sibuk di lapangan?" Kaki Faya menegang tatkala Kathir mengambil posisi duduk manis di kursi samping tempat tidurnya. Menatap Faya hangat, dengan teh manis yang masih tergenggam di tangan kanannya.

"Aman, ada Kevin, kok," sahut Kathir, "udah, enggak usah mikir gituan. Mending sekarang lo minum teh ini, terus istirahat, deh."

Faya mengangguk sekilas, tangannya spontan merampas teh hangat yang semula dipegang Kathir. Memasukkan cairan hitam itu ke dalam mulut hingga pipinya menggembung.

Di sisi lain, Kathir hanya menatap Faya penuh arti. Ia tahu kegugupan sedang melanda rohani gadis ini. Di dalam kepala Kathir ada banyak tanda tanya. Ia benar-benar tak paham mengapa gadis ini begitu gelagapan ketika di dekatnya. Padahal, ia rasa dirinya sudah cukup ramah. Nada bicaranya pun ia rendahkan serendah-rendahnya, demi menjaga perasaan gadis ini. Jika membahas perihal pertemuan pertama tempo hari, bukankah ia sudah meminta maaf tentang hal itu? Gadis baik seperti Faya tak mungkin mendendam, 'kan?

Kathir meraba pakaian lengkapnya. Di sana ia masih mengenakan pakaian lengkap khas panitia pemilihan ketua angkatan FE. Almamater, kemeja formal yang dimasukkan ke dalam celana, beserta gesper besi demi menunjang sisi kerapiannya sebagai orang berwenang. Pikirnya, bisa saja kecanggungan Faya tercipta karena penampilannya yang terlalu resmi. Dengan senyuman simpul, Kathir pun menanggalkan satu persatu atribut formalnya. Mulai dari almamater, gesper, hingga kemeja.

Pipi gembung Faya sontak mengempes. Teh yang hampir ditelannya menyeruak, terhadiahkan kepada lelaki di sampingnya kini.

"AKHHH! TOLONG! JANGAN GREPE SAYA, KAK. SAYA MASIH SUCI!"

Kathir terperanjat melihat Faya yang meraba tubuhnya, guna memastikan ia tak kurang sesuatu apa pun.

"Tenang! Tenang!" seru Kathir, "gue cuma mau lepas pakaian doang, bukan mau ngapa-ngapain lo."

Faya terkesiap. Rasa syok menerpa dirinya begitu rupa. Kini keduanya dibalut keheningan. Disusul sisa teh hangat yang perlahan mendingin. Kathir merasa bersalah, Faya lebih merasa bersalah lagi melihat noda teh bekas semburannya di pakaian lelaki itu. Terlepas dari itu, rasa malu hinggap di jiwa keduanya, membuat harga diri mereka anjlok hingga ke dasar lautan.

"Ma ... maaf, Kak." Faya meraih sebuah kotak tisu di atas nakas, lalu menyodorkannya pada Kathir. "Bajunya kotor gara-gara aku."

"Ah, enggak apa-apa. Gue juga salah, bikin lo kaget. Sorry, ya ...." Kathir mengambil beberapa lembar tisu lalu mengelap noda teh di pakaiannya.

Selanjutnya, suasana di UKK makin senyap. Hawa AC makin dingin, sedingin kecanggungan yang melanda mereka.

"Eh!" Kathir tiba-tiba berseru. "Kalau misalkan lo udah baikan, bisa sempatin diri dulu aja buat ikut pemilihan ketua angkatan. Satu suara berharga banget, loh, buat para kandidat."

"Iya," jawab Faya seadanya.

Hening lagi.

"Oh iya, kemarin, si Izmi udah ngasih nomor lo ke gue. Mau gue chat, tapi takutnya ganggu. Apalagi gue belum minta izin langsung sama orangnya." Kathir menghela napas panjang. "Jadi, bisa enggak, gue nge-chat lo?

Menjawab pertanyaan si empu, Faya hanya mengangguk singkat. Ada binar yang tertangkap di bola mata Kathir setelah anggukan itu. Sejurus kemudian, ia merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan sebuah benda pipih, mengetik sesuatu di sana.

Tak lama, ketikan itu membawa getaran pada ponsel Faya.

Save nomor gue. Atas nama Kathir ganteng

Faya terkekeh, membuat pandangan Kathir teralih. Untuk pertama kalinya, ia pikir seniornya ini tak semenyeramkan itu. Meski tetap saja, kesan pertama selalu menjadi alasan kecanggungan ini.

"Engh, gue balik lapangan dulu, ya? Takut dimarahin panitia lain kalo ketahuan kabur." Dengan cekatan, Kathir memasang pakaian resminya satu demi satu.

Sebelum meninggalkan UKK, Kathir berbalik dan berujar, "Kalau misalkan belum membaik, coba kompres dahi lo pake air dingin, terus kurangin pencahayaan ruangan. Itu bisa sedikit ngurangin migrainnya."

Lima menit, sepuluh menit, keberadaan Kathir pun sirna. Sepeninggalnya, Faya hanya meringkuk merutuki kebodohannya. Di samping itu, ada satu sikap kontradiktif Kathir yang membuatnya bingung.

"Perasaan dia bilang dipercayain buat nyusul gue. Kok tiba-tiba takut ketahuan kabur, ya?"

*****

Sabtu, 4 Februari 2023

Pukul 23.52 WITA



Anak Perempuan Pertama [ON GOING]Where stories live. Discover now