(9)

93 66 100
                                    

Maafkan keterlambatan up-nya, ya ...

Vote sebelum baca.
Udah?
Cus ke story-nya

*****

Hari ini, pukul 19.00, lagi-lagi Faya harus menanggung rasa lelah tiada ampun. Mata kuliahnya selesai tepat pukul satu siang. Sialnya, jam terakhir merupakan bagian Bu Anjali yang diisi oleh ke-glamour-an dan buntut-buntut flexing-nya, sehingga Faya beserta kawan-kawannya untuk kesekian kali harus menenggak pil pahit, sebab tugas yang semestinya bisa selesai di kelas, malah harus dibawa pulang, dikarenakan waktu yang tak cukup.

Hal sadis lain dari Bu Anjali adalah ia pelit waktu. Tugas membuat makalah yang membahas perihal ruang lingkup Ilmu Ekonomi (mikro dan makro), hanya diberi waktu hingga pukul 00.00 pagi ini. Jika saja mencubit ginjal itu halal, Bu Anjali merupakan orang pertama yang akan dijejali ginjalnya oleh Faya.

Untungnya, Imah dan Izmi tidak ada kegiatan lain hari ini. Jadi, Faya bisa mengajak keduanya 'tuk berkutat dengan tugas tersebut. Berjam-jam mereka menghabiskan waktu di Pojok Caffee—salah satu tempat nongkrong paling ekonomis di sekitar Universitas Harapan—berharap tugas mereka dapat selesai tepat waktu dengan hasil yang memuaskan.

"Akhirnya, tugas dari si flexing kelar jugaaa ...." Imah membentangkan tangan. Bibit-bibit kebebasan kini terpancar dari akar jiwanya. "Gimana kelen, dah submit?"

Faya dan Izmi mengangguk serentak.

"Gue balik duluan deh, kalau gitu. Takut digaplok Tatut kalo pulangnya kemaleman." Setelah mengucapkan itu, Faya menguap sekali. Dengan sigap ia membereskan barang-barangnya dan bergegas untuk pulang.

"Fay, tunggu!" Izmi menahan tangan Faya yang sudah hampir beranjak.

"Kenapa? Lo masih kangen sama gue?"

"Enak aja!" sanggah Izmi sembari mencibir. "Gue tuh cuma mau say sorry. Soalnya nomor lo barusan udah gue kasih ke Kak Kathir."

Mata Faya membulat sempurna. "LO BENERAN NGASIH NOMOR GUE KE DIA?! SIALAN, ENGGAK SOPAN BANGET LO!"

Imah meletakkan jari di bibir, mengisyaratkan dua kawannya agar tak bergaduh di wilayah bisnis orang. Seruan Faya barusan sungguh membuat para pengunjung sontak menyorot ke arahnya.

"Maaf, Fay, soalnya si Kak Kathir enggak mau ngasih tips lebih kalo gue belum ngasih nomor lo." Izmi mencolek dagu sobatnya, lalu berkata dengan nada menggoda, "nanti gue beliin es krim, deh. Tiap hari selama dua minggu. Mau enggak?"

"Nasi padang baru mau."

"Deal! Nasi padang, setiap hari selama dua minggu." Izmi menarik tangan Faya 'tuk bersalaman. Sementara Imah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tak dapat berkata-kata akan tingkah konyol kedua kawannya ini. Apakah ini saatnya Imah pindah circle?

*****

Meski berkekurangan masalah finansial, ditambah lagi kurangnya perhatian Ibu saat ia kecil, Faya tak pernah berhenti memanjatkan rasa syukur atas karunia Tuhan yang mengirimkannya Ayah seperti Teddy. Tak peduli apa pekerjaan ayahnya, atau bagaimana dunia memandang pahlawannya itu sebagai manusia, rasa cinta nan hormat dirinya kepada Sang Ayah bagaikan jumlah pasir dalam lautan. Tak terhingga.

Salah satu didikan Teddy untuk anak-anaknya adalah menerapkan dalam rohani ketiganya agar selalu melihat kebaikan dari segala hal yang terjadi, walau hal terburuk sekalipun.

Suatu malam, Teddy pernah menghabiskan waktu dengan ketiga putrinya. Sambil mengusap kepala mereka secara bergantian, Teddy berujar sendu. "Manusia itu mahkluk yang kompleks, Nak. Kebanyakan dari mereka selalu saja mengikuti suara mayoritas, meskipun bukan itu yang mereka yakini."

Anak Perempuan Pertama [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang