(6)

176 127 214
                                    

Vote dulu sebelum baca
Follow me for more stories
Udah? Cus ke story-nya

*****

Setelah keadaan membuncah tadi malam, Faya menghabiskan waktunya untuk menimang-nimang kesalahan. Parahnya, batok kepalanya sampai sakit karena terus-terusan dipukul oleh dirinya sendiri. Jika saja tak dijegat oleh Sania, ia mungkin sudah membenturkan kepalanya ke dinding hingga berdarah.

Itulah salah satu hobi gadis ini. Menyalahkan diri, lalu melukainya.

Hari ini ia bahkan mengurungkan niat untuk berkuliah. Tak peduli berapa kali Imah dan Izmi menghubunginya, bertanya-tanya mengapa Sang Sobat tak ambis seperti biasa. Pertanyaan itu pun hanya dijawab singkat oleh si sulung.

Sorry guys, gue lagi ada masalah dikit. Kucing gue mencret-mencret.

Terbesit secercah keinginan di hati Faya untuk menceritakan masalah ini pada keduanya, tetapi mengingat mereka telah melakukan banyak hal merepotkan sebab Faya, memangkas sedikit ego, mengerahkan lebih banyak tenaga menghadapi tingkah laku Faya yang bisa dibilang cukup random membuat Faya mengurungkan niat dan lebih memilih berbohong.

"Ngeong," keluh Cimoy-kucing Faya yang kini berada di pangkuan si majikan.

"Maapin yak, Moy. Ay jual nama lu. Semoga aja lu enggak mencret beneran."

Faya terkekeh sebentar hingga pandangannya beralih ke arah Teddy yang kini terbaring di atas sofa merah daur ulang yang telah diakali sedemikian rupa agar benda itu bisa dipakai keluarga mereka. Sedari tadi, Teddy bersikukuh menyuruh Faya pergi ke kampus. Alih-alih didengarkan, Teddy hanya bisa menggeleng pasrah melihat putri sulungnya seolah merekatkan bokongnya ke kursi dengan lem korea. Ia tak bergerak sama sekali.

"Ayah bisa kok, tinggal di rumah sendiri."

"Enggak!" bantah Faya tegas, "Adek-adek pergi sekolah dan Tatut jualan kue. Kalau aku juga pergi, siapa yang jagain Ayah?"

Memang benar, di rumah ini hanya tersisa Faya bersama Sang Ayah. Dikarenakan kondisi fisik Teddy tak prima, Tuti harus menggantikan Teddy bekerja dengan berjualan kue keliling guna menghidupi mereka hari ini.

Teddy menelisik setiap inchi wajah anaknya, lalu menemukan banyak celah di sana. Penyesalan, kebohongan, kemarahan, serta rasa butuh akan kasih sayang.

"Kamu ini mudah sekali dibaca, Nak." Teddy terkekeh pelan. Perkataannya barusan hanya dibalas senyum kecut oleh Faya pertanda sebuah pembenaran.

"Ya," imbuh Teddy, "sekeras apa pun Ayah menyuruh kamu untuk pergi, tetap saja, kamu bahkan lebih keras kepala daripada Ayah," tambahnya.

Tidak. Faya sebenarnya tak sekeras itu. Hanya saja, rasa bersalah yang tertanam menyetir mentalnya 'tuk bisa lebih baja. Ia bahkan tak tahu apakah keputusannya membolos hari ini benar atau tidak.

"Ayah, gini, aku tuh-"

"Assalamualaikum."

Belum sempat Faya melanjutkan ucapannya, mereka tiba-tiba dihadiahi tamu. Mendengar itu, Faya lekas bangkit dari duduknya, mengusik Cimoy yang tengah pulas-pulasnya bergulat dengan mimpi.

"Walaikumsa-" Mata Faya membulat sempurna melihat empat orang yang datang ini tampaknya benar-benar tak asing.

"Lam."

"Siapa, Nak?" tanya Teddy dari dalam sana. Sedikit mengintip sontak membuat Teddy terkejut mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri. Rupa-rupanya, tamu mereka adalah ketiga preman yang memukuli raganya semalam, beserta satu anak muda yang tak kalah asing.

"Silakan masuk."

Mendengar nada bersahabat dari tuan rumah, para tamu langsung merapatkan diri di ruangan 2x3 ini. Faya sendiri tak mampu berkata-kata. Badannya lemas tatkala menyaksikan penjahat-penjahat yang menyakiti ayahnya kini masuk ke dalam istananya. Bagaimana jika mereka berniat buruk? Bagaimana jika semalam mereka telah menyusun strategi untuk meruntuhkan keluarganya? Dengan ini, Diana, Tuti, dan Sania akan memusuhinya, lalu Faya akan menjadi sebatang kara terluntang-lantung di jalanan. Faya sedang tenggelam dalam fantasi gilanya dengan tatapan merujuk kepada salah seorang tamu yang amat dibencinya.

Kathir.

Ada raut kaget tatkala para tamu melihat tuan rumah bersikap bersahabat setelah apa yang terjadi tadi malam. Mengundang Kathir dan ketiga preman tanpa rasa ragu memperkenalkan diri mereka supaya percakapan selanjutnya dapat berlangsung baik.

"Sebelumnya, saya berterima kasih karena bapak sudah menyambut kami dengan cukup hangat. Saya mendapatkan alamat Bapak dari seorang warga yang mengevakuasi Bapak semalam. Tujuan kami ke sini ingin meminta maaf, meluruskan, dan mengganti kerugian yang Bapak dapatkan atas masalah yang sudah terjadi." Kathir memulai dengan sopan, kemudian menyikut para preman sebagai kode untuk segera meminta maaf.

Lantas saja ketiga preman tersebut meminta maaf kepada Teddy dengan sorot mata bersalah. Terlebih saat melihat luka-luka si empu yang masih basah. Membuat hati mereka sedikit terenyuh.

"Iya, Nak. Bapak enggak mau memperpanjang masalah ini. Sebab, Bapak sadar bahwa dendam hanya membawa kegelisahan. Sementara, Bapak ingin hidup tenang," pungkas Teddy diakhiri senyum tulus.

"Jika Bapak berkenan," tambah Kathir, "saya ingin meluruskan sesuatu."

"Sebenarnya saya merasa tidak bersalah atas apa pun di sini, karena saya sama sekali tidak terlibat. Hanya saja," Kathir memegang pipi kanannya yang memerah. "Karena satu dan lain hal, saya harus meluruskan semuanya."

"Preman-preman ini adalah kenalan saya. Benar. Mereka ini kawan-kawan Paman saya yang sering berkunjung ke rumah. Semalam, sepulang dari kegiatan himpunan, saya melihat dengan jelas kenalan-kenalan saya ini memukuli seseorang. Lantas saya pun turun untuk melerai dan meluruskan. Rupa-rupanya, terjadi kesalahpahaman, karena dua hari lalu ada seorang badut jalanan yang mengundang keributan dengan preman di situ. Dan mengira bahwa Bapak adalah badut yang dua hari lalu mencari masalah dengan mereka. Niat saya baik, tetapi malah diberi tanggapan buruk oleh seseorang." Kathir melirik sinis ke arah Faya.

Penjelasan Kathir bak sandi yang membuka segala akses peristiwa kemarin. Wajah Faya memerah. Kini ia hanya bisa menunduk merenungi —sekali lagi—kebodohannya. Setelah menabrak pohon, lagi-lagi ia harus menanggung malu karena telah menampar Kathir atas kesalahan yang sama sekali tak diperbuatnya.

Kalimat terakhir Kathir menarik perhatian Teddy. "Tanggapan buruk dari siapa, Nak?"

"Hanya dari seorang warga kok, Pak. Mungkin dia geram sama saya. Cuma karena terlalu gegabah, akhirnya dia jadi salah paham kemudian salah tindak." Kathir menahan tawa melihat reaksi ekspresif Faya. Jika saja isi otaknya terlihat, ia yakin kepala gadis yang duduk di depannya ini akan membuncahkan kalimat-kalimat 404 Not Found atas ke-error-annya.

Faya sedikit kaget. Ia kira Kathir akan melapor pada ayahnya atas pikirannya yang dangkal. Namun, tetap saja. Sindiran-sindiran Kathir membuat mental Faya makin jongkok. Bertambah satu alasan lagi yang membuatnya enggan bertemu Kathir.

"Bapak tahu kamu orang baik, Nak." Pandangan Teddy beralih ke putrinya. "Faya, asal kamu tahu ... Kathir inilah yang Ayah ceritakan tempo hari. Anak muda baik yang memberikan Ayah uang lebih dan membuat kamu dan adik-adikmu bisa menikmati es krim."

*****

Senin, 26 Desember 2022

Pukul 00.07 WITA

Anak Perempuan Pertama [ON GOING]Where stories live. Discover now