(4)

241 197 328
                                    

Vote dulu sebelum baca.
Udah?
Cus ke story-nya

*****

Hari ini, pukul 16.50, mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi menjadi penutup sekaligus alasan kepala Faya bak ingin pecah. Ia tak menyangka maba Universitas Harapan terkhusus mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan di semester ini sudah bertemu dengan yang namanya dosen killer. Tidak hanya killer, ia juga tukang flexing a.k.a tukang pamer. Selama jam perkuliahan, manusia ini hanya mengisinya dengan marah-marah dan menyeruakkan segala keglamouran hidupnya. Faya dan kawan-kawannya dibuat menggeleng akan itu.

"Kamu lihat ini gelang emas Ibu, ini ibu beli di France. Sepatu Ibu, kalian tahu ini mereka apa? Versace. V-E-R-S-A-C-E. belinya di Eropa juga. Kalian ingin jadi seperti Ibu? Makanya belajar! Jangan taunya cuma main-main. Kerja keras itu dimulai dari maba. Lihat Ibu sekarang? Keliling Eropa cuma buat shopping."

Faya ingat jelas bagaimana ekspresi meninggi dari Bu Anjali. Mencekoki mereka dengan berbagai macam perkataan akan barang mahal. Apalagi saat membahas sepatu, dirinya lantas menatap lekat-lekat flatshoes yang dibelikan oleh Sang Ayah dua tahun lalu. Sepatu itu bahkan sudah menganga jika saja dirinya tak merekatkannya dengan lem korea. Ia yang mencerna perkataan Bu Anjali hanya bisa tersenyum kecut, membayangkan betapa miskin dirinya ini. Ya, apa pun itu Faya hanya bisa mengambil sisi positifnya saja. Memang sudah benar bahwa seseorang yang tidak memiliki previlege harus bekerja lebih keras dibanding manusia lainnya yang mungkin lebih beruntung dari sisi finansial.

Di samping itu, ada yang membuat Faya lebih kesal lagi. Nyatanya, Bu Anjali sudah mengeluarkan sifat 'pamer'nya, belum genap sepuluh menit saat ia memasuki kelas. Sungguh kesan pertama yang buruk.

Karena momen kelas Bu Anjali yang sangat buang-buang waktu, di akhir kelas ia pun memberi tugas untuk mahasiswanya. Inilah yang membuat dirinya, Imah, dan Izmi harus tinggal selama hampir dua jam untuk mengerjakannya di perpustakaan, sebab deadline dari tugasnya adalah jam 19.00, tepat setelah magrib.

"Gila ya 'tuh orang. Gue bener-bener enggak habis pikir bisa ketemu sama dosen macam dia. Jiwa flexing-nya enggak ketulungan woy." Izmi menggerutu hebat sembari menyandarkan tubuhnya di sofa biru empuk yang berada di perpus.

Imah terkekeh, "Ya mau gimana lagi ya, Mi. Namanya juga dosen, memang banyak yang aneh. Lebih aneh daripada guru kadang." Imah menoleh ke kanan, tepat di posisi Faya duduk. "Fay, udah selesai belum?"

Faya yang fokus mengerjakan tugasnya tidak menjawab pertanyaan Imah. Kondisi Faya sebagai mahasiswa yang tidak memiliki laptop membuat dirinya harus memanfaatkan fasilitas kampus untuk mengerjakan tugas. Cukup berat rasanya, tetapi Faya harus terbiasa dengan semua itu. Ia selalu ingat kata ayahnya,

'Selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Kalau kamu sudah tahu resiko dari segala keputusan kamu, kamu harus siap menanggung segala konsekuensinya.'

Klik.

"Alhamdulillah, tugas gue udah ke-submit," ujar Faya kemudian disusul helaan napas panjang.

Ia menatap kedua temannya lamat-lamat, setelah itu mengguncang bahu mereka. "Gue sayang banget sama lo berdua, makasih udah nemenin gue ngerjain tugas!"

"Udah, Fay, berhenti. Jiwa gue keguncang nih!" seru Izmi kemudian yang membuat sang empu menghentikan aksinya. Setelah itu, Faya hanya tersenyum menyiratkan rasa terima kasih kepada kedua sobat yang bahkan baru ia kenal di kampus ini. Satu kata yang menggambarkan dirinya,

Bersyukur.

*****


Mentari sudah menyembunyikan sinarnya, menyeru kepada rembulan 'tuk segera menggantikan tugasnya. Bintang-bintang terhampar menemani rembulan, menyinari manusia yang masih sibuk dengan aktivitas duniawi mereka. Letih, lesu, itulah penggambaran seorang gadis bernama Faya. Meski begitu, rasa lelah tak menghalangi dirinya untuk terus mengejar mimpinya. Baterai sosialnya sudah mendekati 15 persen, tetapi ia masih bisa menampakkan sisi cerianya, sebab dirinya masih bisa mengambil banyak hikmah baik dari hari yang melelahkan ini.

Faya berjalan kaki, menikmati terpaan angin malam serta hiruk pikuk kendaraan yang masih ditangkap oleh telinga. Di hari yang temaram ini, ia bahkan harus berjalan kaki karena uang jajannya hari ini habis untuk membayar iuran baju angkatan. Miris, tapi tak mengapa.

"Enggak apa-apa, Fay. Itung-itung olahraga malem."

Sorot mata Faya menyapu sekitar. Jam segini masih banyak toko kelontong yang buka. Beberapa di antara mereka menyusun botol-botol yang berisi air berwarna hijau di depan toko, beberapa lainnya menjual es krim dan minuman dingin, yang langsung diserbu oleh anak-anak kampung sini. Dunia yang ribut, namun asik. Seru juga rasanya melihat orang-orang menikmati aktivitas yang mereka lakukan.

Tak lama kemudian, Faya menyaksikan Ibu-ibu keluar dari rumah mereka, mengejar sesuatu yang tampaknya tak boleh lepas dari mata. Bapak-bapak pun berlari ke arah depan, sembari menenteng sebuah balok kayu yang rasa-rasanya akan digunakan untuk memukul orang. Anak-anak pembeli es krim juga mengikuti, meski dengan es krim yang masih bertengger di dalam mulut.

Ada apa ini?

Faya memicing, sepengamatannya, orang-orang berlari ke arah sudut jalan, beberapa meter sebelum jalan raya. Dengan rasa penasaran, Faya lantas mengikutinya. Tak ayal ia berlari mengikuti sumber suara, sesekali menyenggol orang yang menghalangi jalannya. Semakin dekat, semakin jelas pula apa yang terjadi di sana.

Rupanya, ada seseorang yang sedang di gerogoti oleh beberapa preman berbotol miras. Ia dipukuli, diguncang jasmaninya tiada ampun. Sebagian warga menghampiri dan berusaha melerai, sebagiannya lagi hanya fokus memotret dan mengunggahnya ke sosial media sebagai kabar ter-update hari ini. Dasar manusia-manusia tak berempati.

Faya menelisik. Menatap lamat-lamat siapakah manusia yang dizolimi itu. Tampaknya benar-benar familiar. Ia kenal, bahkan dekat.

"AYAH!" Faya menyingkirkan tas ranselnya, berlari ke arah Sang Ayah yang kini tersungkur tak berdaya di antara kerumunan preman yang masih siaga dengan botol mirasnya. 

"SUDAH! INI AYAH SAYA!" Butir-butir bening mengucur deras dari bola mata Faya, menyiratkan koyakan hatinya melihat keadaan Teddy begitu mengenaskan. Meski darah bercucuran dari wajahnya, Teddy bahkan masih mengenakan baju badut doraemon dan memeluk kepala badut itu erat-erat, saking berharganya benda itu sebagai satu-satunya alasan Sang Ayah masih bekerja hingga saat ini.

"TOLONG, TOLONG AYAH SAYA!" pekik Faya kepada warga setempat. Mereka yang masih memiliki empati bersatu untuk mengangkat bobot Teddy yang cukup berat.

Sedangkan preman-preman itu terlihat menyingkir dari kerumunan bersama seseorang yang tengah berbicara dengan mereka. Kedua tangan Faya mengepal erat saat menyadari siapa orang yang kini tengah bersama preman-preman itu, atau bisa dibilang dalang dari semua ini. Ia sudah menduga dari awal bahwa orang ini benar-benar iblis. Dengan emosi yang memuncak, Faya mendekat ke arahnya, tak peduli hujan badai, tak peduli apakah nanti dirinya akan terluka atau bahkan mati.

PLAKK!!

"Gue tau lo orang kaya, gue juga tau lo bisa ngelakuin apa pun dengan duit lo yang meluber itu. Gue emang salah karena ngalangin jalan lo kamaren. Gue minta maaf. Tapi, apa pantes kalau lo balas dendamnya ke keluarga gue? Tolong banget, berhenti. Ayah adalah satu-satunya orang yang gue punya."

Faya membelakangi orang itu, setelah mengeluarkan uneg-unegnya dengan terisak hebat. Meninggalkan seorang lelaki yang kini masih memegang pipinya yang menghangat setelah mendapatkan serangan telapak tangan Faya.

Ia adalah Kathir.

*****

Senin, 12 Desember 2022

Pukul 12.59 WITA


















Anak Perempuan Pertama [ON GOING]Where stories live. Discover now