(5)

221 173 243
                                    

Vote sebelum baca.
Follow me for more stories.
Udah?
Cuss ke story-nya

****

Dengan tersedu-sedu, Faya dan beberapa penduduk kompleks, serta seorang warga kaya yang sudi meminjamkan mobilnya, membopong Teddy kembali ke istananya. Sepanjang jalan, Teddy hanya meringis kesakitan sembari berzikir guna mengurangi rasa pedih dari lukanya. Ia benar-benar tak tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan, serta dosa apa yang diperbuatnya sehingga mendapatkan perlakuan tak pantas dari preman yang bahkan sama sekali tak dikenalnya. Meski kini ia tampil mengenaskan, Teddy menolak keras dibawa ke rumah sakit. Dalam keadaan seperti ini pun ia masih memikirkan jika biaya yang digunakannya ke rumah sakit bisa disimpan untuk keperluan kuliah Faya dan kebutuhan sekolah kedua adiknya—Diana dan Sania.

"Sudah, Ayah pasti akan pulih cepat atau lambat. Rumah sakit cuma akan buat Ayah tambah puyeng nanti. Lagipula, kita enggak punya uang. Mau bayar pakai apa?"

Perkataan Teddy beberapa saat lalu, membuat Faya ingin membenturkan kepalanya ke dinding berulang-ulang. Ia merasa gagal menjadi anak yang baik. Biar bagaimana pun, Faya lah yang telah menyebabkan ayahnya babak belur seperti ini. Ia meyakini semua permasalahan ini dimulai dari kecerobohannya tempo hari kala berjalan di area parkir dan hampir ditabrak Kathir. Faya sadar dirinya salah, tetapi tak seharusnya keluarga yang disayanginya mendapat perlakuan tak beretika semacam ini. Faya marah. Namun, juga kecewa berat pada diri sendiri. Dirinya seperti berada di ambang keputusasaan.

Hampir tiga puluh menit Faya di bawah pikiran yang kacau, hingga akhirnya mereka tiba di rumah. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Tuti yang berteriak histeris, disusul Diana dan Sania   tatkala teriakan itu pun mengejutkan mereka.

"Teddy! Allahu Akbar, ada apa dengan kamu?!" pekik Tuti langsung mengambil posisi 'tuk membantu membopong saudara laki-lakinya itu.

Si tengah dan si bungsu seketika tersedu-sedu menyaksikan tampilan ayahnya yang nahas didukung oleh tangisan si sulung juga. Teddy yang melihat semua itu hanya bisa menenangkan mereka dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Selepas orang-orang baik tadi kembali ke asal mereka, penghuni rumah yang lebih mirip gubuk ini pun segera melakukan apa saja yang bisa mereka perbuat untuk meminimalisir rasa sakit dari Teddy. Harap-harap itu bisa memberikan pengaruh yang signifikan pada kondisi tubuh sang empu.

"Faya, coba kamu jelaskan apa yang terjadi dengan ayahmu. Jelasin kronologinya, secara runtut biar enggak ada kesalahpahaman!" titah Tuti sembari mengoleskan obat merah di luka Teddy dibantu Diana yang mengompres wajah lebam Sang Ayah dengan air es.

Nada bicara Tuti yang tegas, membuat nyali Faya ciut seketika. Sania yang peka akan hal itu, menggenggam tangan saudarinya erat, menyiratkan tatapan mendalam dan kekuatan yang harap-harap bisa tertransfer kepada Faya.

"Engh ... sebenernya, Ayah jadi seperti ini gara-gara aku." Perkataan Faya sontak membuat seisi rumah terbelalak.

"Apa yang Kakak lakuin sampai Ayah kayak gini?" Diana—si paling pendiam mulai angkat suara. Sadar bahwa diamnya takkan menyelesaikan masalah jika keadaan sudah seperti ini.

"Kemarin, pas Kakak telat ngampus di hari ospek, Kakak enggak sengaja jalan di area parkir kampus, padahal di Fakultas udah disediain lajur buat pejalan kaki." Faya menghela napas gusar, kemudian melanjutkan, "tiba-tiba ada seseorang yang hampir nabrak Kakak. Cowok serem yang keliatan bahwa perangainya enggak cukup baik. Terus kakak dimarahin."

Faya terdiam, tak sanggup melanjutkan.

Sania yang melihat Faya berhenti pun merasa sedikit geregetan. "Terus apa hubungannya sama Ayah yang kayak gini?"

"Tadi pas Ayah habis dipukulin, Kakak ngeliat cowok itu bernegosiasi sama si preman-preman jahat yang ngelukain Ayah. Kakak pikir, itu adalah salah satu ajang balas dendam dia karena Kakak udah rese. Tapi, Kakak enggak kepikiran dia bisa kenal Ayah dan berulah sampai sejauh itu." Setetes air mata Faya kembali jatuh membahasahi sekujur pipinya. Rasa sesal tergambar jelas dari sorot matanya yang sendu. Lagi-lagi dirinya merasa gagal.

"Alfaya Magfirah," panggil Tuti pada keponakannya. Alih-alih menengok tantenya, ia malah menunduk. Biasanya, ketika nama lengkapnya sudah dipanggil Tuti dengan nada tenang beremosional seperti itu, tandanya ia sudah melakukan kesalahan fatal.

"Selama ini Tante enggak pernah menuntut banyak ke kamu, karena Tante pikir kamu sudah cukup dewasa untuk sadar diri, tapi ternyata Tante salah ...." Tuti menatap Faya penuh kekecewaan. "Kamu benar-benar gagal menjadikan dirimu sebagai Anak Perempuan pertama yang layak menjadi contoh bagi kedua adik kamu!" Tuti meninggikan suaranya, menepis tangan Teddy yang coba menghalaunya.

"Kak," desis Diana dengan nada sedikit sinis. "Kakak di sini adalah Anak Pertama yang sepatutnya menjadi contoh bagi aku dan Sania. Tapi, malah kamu yang paling kekanak-kanakan di sini, Kak. Sifat aku bahkan mungkin lebih dewasa daripada kamu."

"Aku enggak pernah bilang kayak gini karena aku masih ngehargain Kak Faya sebagai kakakku satu-satunya. Tapi, sekarang kamu kelewatan, Kak." Diana mengakhiri ucapannya dengan bangkit dan membopong Sang Ayah 'tuk masuk ke dalam kamar dibantu oleh Tuti.

Meninggalkan Faya yang tak bisa melakukan apa pun lagi selain merintih penuh sakit. Ia benar-benar gagal menjadi contoh bagi kedua adiknya. Sifat kekanakan dan kecerobohan yang terkadang timbul, kini tak hanya merugikan dirinya sendiri, melainkan juga keluarganya. Faya memukul-mukul kepalanya dengan tangan yang terkepal. Mengutuk dirinya sendiri, berandai-andai semoga saja dirinya tak pernah lahir dan Diana lah yang mengambil tahta sebagai anak pertama di keluarga ini.

Sampai sini, ada satu fakta yang ia sadari. Sifat kekanakannya ia duga merupakan bibit-bibit kurangnya kasih sayang seorang Ibu yang ia dapatkan ketika dirinya kecil. Kelahirannya membuat Teddy dan Lydia—mendiang ibunya kebingungan terkait finansial. Tentang bagaimana mereka bisa membesarkan Faya dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas. Hal ini membuat kedua orang tuanya bekerja keras hingga lupa memanjakan Faya.

Si tengah dan si bungsu lahir tatkala Tuti sudah tinggal bersama mereka. Lydia sudah meninggal tiga bulan setelah Sania dilahirkan. Meski sudah tak memiliki Ibu Kandung, masa kecil keduanya masih bersentuhan dengan kasih seorang wanita. Sementara Faya sudah besar kala itu. Luka akan pengabaian sudah terpatri di dalam dirinya. Menjadikan dirinya sebagai anak yang masih terjebak di masa kecilnya yang penuh rintihan akan perhatian nan peluk hangat.

Gue enggak bisa terus-terusan menyalahkan masa lalu atas kebodohan gue sendiri. Sadar Faya! Sadar sama apa yang udah lo lakuin ke keluarga lo sendiri!

Batin Faya terus meronta. Rasa sakit di kepalanya ia abaikan. Hingga kini, kepalan tangannya pun masih menciptakan rasa yang sama. Ia meneriakkan makian kebodohan di alam bawah sadarnya sampai wajahnya memerah digerogoti keemosionalan.

Sania yang masih terlalu dini 'tuk menyadari luka Sang Kakak hanya bisa memeluk menenangkannya. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Meski begitu, Sania berharap ia memiliki kapasitas otak yang mumpuni agar bisa memaknai setiap permasalahan yang terjadi di keluarga mereka termasuk peristiwa malam ini.

*****

Tbc.

Senin, 19 Desember 2022

Pukul 00.00 WITA

A/N: Aku akan double update ketika pembacanya udah nyampe 1k ya! Ayo share cerita ini. Thankiees!








Anak Perempuan Pertama [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang