❍ 1. Haidar Aikalanka

30 8 0
                                    

Jantung tidak bisa dikontrol harus memompa lebih cepat pada siapa.❞

— Haidar Adharaz Aikalanka —

🪐🪐🪐

CK! Sialan banget, nih, buku. Minimal happy ending, kek! Emang, ya, enggak di dunia nyata, enggak di dunia fiksi, cowok kebanyakan nyakitin,” gerutu seorang gadis pada buku yang baru selesai ia baca.

Gadis itu terlihat manis dengan pakaian lengan pendek dan celana kulot berwarna senada, rambutnya dikuncir kuda, telinganya tersumpal airpods kesayangannya yang berwarna hijau matcha, dan kaca mata bulat berwarna emas yang membuat gadis itu lebih terlihat lebih menarik.

Pada saat ingin meminum matcha latte yang sebelumnya gadis itu pesan, tiba-tiba ada laki-laki asing yang menghampirinya dengan tergesa.

“E-eh!” Gadis itu—Letta—hampir saja tersedak.

“Apa-apaan, sih!?” Letta berkata tak santai.

Laki-laki di hadapannya sangat aneh sekali. Ia memakai pakaian serba hitam, bahkan topi, masker, kaca mata, dan sepatunya pun warna hitam.

“Lo psikopat, ya!?” tuduh Letta, ketakutan.

Laki-laki itu menajamkan pandangannya, menatap Letta dengan tatapan menusuk. Lantas, dengan secepat kilat laki-laki itu membalik badan Letta, hingga dirinya tertutup badan Letta.

“Gue lagi di kejar orang-orang jahat,” kata laki-laki itu. “Bantu gue, please.

Letta menjauhkan diri. “Enggak mau,” tolaknya.

“Gue mohon. Bantu gue, gue janji bakal kabulin apa pun permintaa—”
Perkataan laki-laki itu terpotong sebab terdengar kegaduhan dari kejauhan.

Tanpa pikir panjang, Letta mengambil jaket varsity miliknya yang ia taruh di kursi.

“Buruan pake!” suruh Letta kasar.

Laki-laki itu menurut.

“Nih, pake masker gue,” ujar Letta sambil mengeluarkan masker berwarna hijau matcha.

Lagi-lagi laki-laki itu menurut.

“Pura-pura telepon orang, hadap ke samping.” Letta menyuruh lagi. Ia seakan-akan menjadi sutradara dan laki-laki itu sedang bermain peran.

Laki-laki itu mencari ponselnya yang entah ke mana.

“Bodoh, buruan!” sentak Letta.

Laki-laki itu tak terima. Ia ingin mengeluarkan suara, tapi Letta lebih awal melempar ponselnya yang ditangkap tanpa melesat.

Beberapa saat kemudian, banyak orang-orang sambil membawa kamera bertanya pada Letta.

“Kak, lihat laki-laki pake baju serba hitam, enggak?”

Letta mengangguk. “Gue lihat,” jawabnya.

Laki-laki asing yang sedang memainkan perannya sangat gugup setengah mati.

“Di mana?” kata mereka misah-misuh.

Letta menunjuk ke arah luar mal. “Tadi gue lihat dia lari ke sana. Belum lama, sih, coba buruan kejar,” ujarnya.

“Oke, Kak. Makasih banyak.” Orang-orang yang sepertinya wartawan dadakan itu mengikuti arahan Letta.

Setelah mereka pergi, laki-laki asing tadi mengembuskan napasnya lega.

Ia melirik ke arah gadis di depannya yang sedang membaca buku yang sepertinya masih baru. Lalu ia juga melirik ke arah meja yang di atasnya terdapat buku yang mungkin sudah selesai gadis itu baca.

“Mereka siapa?” tanya Letta penasaran. Lantas ia mendongak.

Letta terdiam menatap netra di hadapannya yang entah sejak kapan laki-laki itu melepas kaca matanya.

“Enggak penting,” kata laki-laki itu.

“Eh iya, nama lo siapa?” tanya laki-laki itu.

“Letta. Kalau nama lo?”

“Haidar.”

Letta mengangguk pelan. “Oh.”

“Hai, Hai!”

Haidar tersenyum tipis di balik maskernya. Entahlah, nama panggilan dari gadis itu pertama kali ia dengar … dan terdengar sangat lucu.

“Hai, Letta!” balas Haidar. Jantungnya berdebar tak karuan. Seketika, perasaan nyaman langsung menderanya.

Haidar lantas membuka maskernya.  “Lo enggak tau siapa gue?” tanyanya.

Letta menaikkan sebelas alisnya. “Emang lo siapa?”

Hai, Hai!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang