BAGIAN 40

279 14 2
                                    

                                                                               ÷÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

                                                                               ÷÷÷÷


Ben membawa Zahin ke rumah sakit terdekat. Di setiap perjalanan dia selalu mencoba untuk membangunkan Zahin dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya, sesekali memanggil-manggil namanya. Tapi nihil, gadis polos itu sekarang masih memejamkan matanya.

Zahin tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Ben juga telah menghubungi Rivan, Mesa dan Garlien. Sebenarnya ia hanya menghubungi Rivan, tapi Ben yakin Rivan akan menghungi yang lainnya. Bagaimana pun mereka telah menganggap Zahin temannya, jadi sudah sewajarnya tau kondisi Zahin. Itu yang Ben pikirkan.

Ben duduk di samping ranjang Zahin. Melihat gadis itu mengeluarkan air mata, segera ia mengusapnya. Ben merasa bersalah, entah kepada Zahin ataupun Robin...

"Robin... " ucap Zahin pelan dengan mata yang masih tertutup. Dia memanggil nama lirih itu berulang kali.

"Zahin, bangun, Zahin!" panggilnya. 

Zahin mengeluarkan suara namun matanya masih terpejam. Air matanya bahkan keluar dari tempat tinggalnya. Ben terus mencoba membangunkan Zahin--tak mau mimpi buruknya berlangsung lama. Bahkan jika ia memimpikan Robin, dia yakin mimpi itu berisi perpisahan, terbukti dengan suara parau dan garis air di kedua ekor matanya.

"ROBIN!" teriak Zahin sampai terduduk dengan satu tangan ke depan seolah ingin meraih sesuatu.

"Zahin?" panggil Ben pelan, tak mau mengejutkannya. Sebenarnya dia yang terkejut karena sang gadis langsung duduk secara tiba-

Ia menoleh, matanya merah dengan dua garis air di pipinya. Bibirnya tiba-tiba saja mengerucut ke bawah. Lalu menangis kencang, tangisan yang sama. Dengan penyebab yang sama pula.

Ben langsung memeluk Zahin, entah kenapa air matanya juga ikut turun. Zahin adalah teman satu-satunya yang ia miliki. Melihatnya menangis histeris seperti ini membuatnya hancur. Apalagi dia baru pertama kali melihatnya rapuh serapuh-rapuhnya, bahkan saat pamannya menyiksanya dia masih bisa menyembunyikan air mata. Namun sekarang ia sama sekali tak bisa melakukan hal serupa.

Para suster yang mendengar suara isak tangis histeris sampai menghampiri tempat Zahin, takut ada apa-apa dengan pasiennya. Tapi Ben mengkode suster itu untuk pergi. Berpikir jika suster itu dapat membantu orang lebih membutuhkan. Dia masih bisa mengurus temannya itu, yang penting dia sudah siuman. Lagipula suster juga tak akan bisa menyembuhkan luka yang tak terlihat.

"Ro-robin per-gi-i," cicit Zahin ditengah-tengah tangisannya. Sesuai dugaan gadis itu pasti bermimpi Robin meninggalkannya, akan lebih baik jika itu hanya mimpi.

Mimpi itu pasti menjadi seperti ucapan selamat tinggal yang tidak bisa dilakukan secara langsung. Ben menepuk-nepuk pundak Zahin, tangisannya benar-benar tak berhenti bahkan semakin parah. Suaranya sudah serak ditambah dengan sesegukan yang tak ada hilal untuk reda.

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now