BAGIAN 21

882 74 60
                                    

÷÷÷

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

÷÷÷

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, di sebuah kursi rotan terdapat dua lelaki yang duduk berdampingan. Bukan homo, tapi nggak ada tempat lain.

Robin mendengus kesal karena Ben tidak pulang-pulang, mau peranin Bang Toib kayanya. Dia tidur di sini sendirian saja, bisa jatuh. Apalagi berdua, bisa gila.

Mana hujan, masa Robin harus begadang lagi. Matanya akan sangat estetik jika begitu, kantong mata hitam besar bagai tampungan air yang di tuangin cat berwarna hitam.

Belum lagi, jika saat ia bangun banyak ibu-ibu mengerubunginya. Lalu melihat ia tidur bersama Ben, mana tempatnya kecil. Gimana kalo emak-emak salah persepsi, nama baiknya akan tercoreng.

Ada pula Ben yang bisa melihat setan, nanti kalo lagi tidur dia liat terus ngomong sama Robin bisa berabe. Robin nggak takut-takut amat sama hantu, toh manusia lebih serem. Mungkin bulu kuduknya hanya akan berdiri.

Yang lebih ia takutkan itu kalo semisal Ben kesurupan, yakali Robin bisa ngeluarin setan itu. Ngeluarin setan dalam diri sendiri aja nggak bisa.

"Lo kok nggak pulang-pulang?" tanya Robin setelah banyak keheningan diantara mereka. Sebenarnya gara-gara Robin yang berpikir kemana-mana.

"Lo ngomongin diri sendiri?" tanya balik Ben.

Robin sudah memahaminya, jika bertanya pada Ben kalo nggak dijawab dengan pertanyaan lagi maka akan di jawab dengan nyakitin hati. Atau bisa saja dijawab dengan misterius, orang lain mana paham.

"Gue di sini ada tujuan," jawab Robin santai.

"Gue juga di sini ada tujuan."

"Tujuan apa?" tanya Robin kepo.

Tiba-tiba saja Ben menatapnya membuat Robin memundurkan tubuhnya. Ucapan sama kelakuan aneh semua. "Nyariin Zahin cowok yang bener," tuturnya, lalu kembali pada posisi semula.

"Lo suka Zahin?" tanya Ben menatap sepatunya yang sedang sibuk dimainin anak kecil. Telatnya, tali sepatunya.

"Gue... nggak suka."

"Beneran?" tanya Ben memastikan, matanya tetap menatap sepatu.

"Kenapa emang? lo suka Zahin?" tanya Robin iseng. Nadanya bahkan tidak dibuat serius. Ia tau sebucin apa Ben pada Mesa.

"Iya."

Matanya membulat sempurna. "Se-se-serius?" kaget Robin dengan kenyataan yang mengejutkan.

Ben menatap lawan bicaranya, waktunya introgasi. Di belakang Robin ada gadis yang tersenyum lebar, senyumnya hampir dari telinga ke telinga, darahnya juga mengucur. Sepertinya mulutnya di sobek.

Ben tentu saja terkejut namun ia bisa menguasai raut wajahnya. Malas saja jika ia bereaksi berlebihan dan mbak Kunti me-notice dirinya. Pasti dia akan mengganggunya.

Zahin to RobinWhere stories live. Discover now