BAGIAN 25

721 50 28
                                    

~|•|~

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

~|•|~

Sekarang mereka sudah berada di kendaraan pribadi milik Robin, kabar baiknya dia menggunakan mobil dengan atap terbuka. Tidak akan ada drama mual, muntah, dan juga tukang ojek.

Robin juga sudah berganti baju, dari hoodie hitam kesayangan ke jas hitam meribetkan. Pakaian ini terlalu formal buat Robin yang santuy. Bahkan rambutnya juga sudah ditata sedemikian rupa, terlihat seperti bukan dirinya.

Zahin dan Robin duduk di belakang, gadis itu ingat bahwa akan mengajari Robin memotong kuku, padahal laki-laki itu udah nggak minat.

Ternyata memotong kuku juga terlihat mudah jika dilihat, namun jika melakukannya sendiri ia angkat tangan. Apalagi kalo tangan kanan yang dipotongi kukunya, tangan kirinya tak akan sanggup.

Fokus Robin juga terpisah. Kadang melihat tangannya, kadang melihat yang memegang tangannya. Saat ini Zahin seperti habis di sulap, dari ujung rambut hingga ujung kaki terlihat berbeda.

"Yang aku potong kuku, bukan muka. Liat cara motongnya!"

"Gue dari tadi udah liat, dan kayanya gue nggak akan bisa potong kuku. Lo potong kuku gue aja selamanya," celetuk Robin sesuka hati.

Zahin sudah selesai memotong kuku Robin, ia menatap laki-laki yang duduk di sampingnya. "Nanti kalo aku pensiun gimana?"

"Siapa juga yang izinin lo pensiun. Nggak ada, nggak ada." Robin menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak boleh gitu dong, Robin tidak perperikemajikaan!"

Dahi Robin berkerut. Kaya pernah dengar kata itu tapi nggak tau kapan dan dimana.

"Aku nggak mau terus-terusan kerja. Aku juga butuh istirahat, makanya aku tabungin gajinya biar kaya Robin. Punya banyak uang, punya baju bagus, juga bisa beliin ibu ini itu," Zahin bercerita sambil membayangkan jika perkataannya menjadi kenyataan.

Keadaan menjadi hening sejenak, entah kenapa Robin merasa senang jika Zahin bercerita. Ucapan Zahin tidak hanya di mulut namun matanya juga ikut menegaskan ucapannya. Belum lagi, kini Zahin tidak gagap saat memanggil namanya. Bisa karena terbiasa.

Satu tangan Robin sudah berada di dagu, seolah-olah sedang berpikir. "Hmm, kayaknya gue tau caranya."

"Gimana gimana gimana?" tanya Zahin antusias, bahkan ia merubah arah duduknya menjadi menghadap Robin sepenuhnya.

Robin tersenyum. "Nika—"

"Udah sampai Den." Pak sopir memotong perkataan Robin.

"Woah!" mata Zahin berbinar dan mulut terbuka lebar. Ia langsung membuka pintu mobil, keluar dengan susah payah karena tak biasa menggunakan high heels.

"Tempatnya bagus banget," komentar Zahin tepat setelah keluar dan melihat tempat yang di tuju majikannya.

"Gaji lo gue potong," celetuk Robin kepada pak sopir sebelum keluar. Niat baiknya untuk Zahin tertunda gara-gara pak sopir.

Zahin to RobinDonde viven las historias. Descúbrelo ahora