FRIENDS I

185 30 4
                                    

CIEL SAGEZZA

Aku baru saja diusir oleh Vion. Ia bilang ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, aku pun menyerah dan pergi menuju kamarnya. Kamarnya tidak dikunci, dasar anak bodoh. Bagaimana kalau ada barang berharganya yang hilang. 

Kamar Vion cukup rapi, lebih tepatnya tidak terlalu banyak barang di sana. Aku duduk di kasur kayu yang bersuara nyaring saat pantatku menyentuhnya. Aku memandangi isi kamar itu dan berpikir apa saja yang dilakukan Vion saat malam hari. Aku melihat sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja. Aku mengenal sampul buku itu, persis seperti buku-buku milik Reich yang biasa ia gunakan untuk mencatat saat pertemuan penting.

Buku itu sudah sedikit usang, sepertinya Vion sudah lama menyimpannya.  Kelihatannya buku itu pernah basah kuyup karena hujan. Aku tertarik untuk melihat dan membaca sedikit isinya.

Tulisan tangan Reich...

Aku mengenal betul tulisan tangan kakak sepupuku itu. Aku heran karena tulisan yang kulihat pertama kali malah tulisan tangan Reich, dan ada nama Reich di sana. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang ditulisnya, namun sekilas ada beberapa tulisan berisi ungkapan kesedihan dan ketakutan. Apa maksudnya ini? Kenapa buku milik Reich berada di kamar Vion?

Aku hanya sibuk membolak-balikan halaman buku itu sampai aku tiba di halaman kosong, dan halaman-halaman yang dipenuhi coretan gambar anak kecil.

Tiba-tiba saja pintu kamar Vion terbuka. Aku mati kutu saat Vion langsung menatapku beku dan melirik buku miliknya yang kupegang. Aku hampir tidak berkedip saking terkejutnya. Hanya keadaan Vion yang basah kuyup saja yang mampu membuatku berkedip sebentar.

"Vion?"

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Vion sedikit tergagap lalu masuk dan mengambil handuk di dalam lemari.

"Aku menunggumu," ucapku lalu pelan-pelan menaruh buku itu kembali di tempatnya. "Kau dari mana saja?"

"Bekerja tentu saja," jawabnya. "Tadi Raja menemuiku, kami mengobrol sedikit."

Senyumku mengembang, ada kebahagiaan kecil saat kudengar Vion semakin dekat dengan Reich, karena aku tahu bagaimana anggapan Vion terhadap anggota kerajaan seperti kami yang telah menghancurkan bangsa Viore.

"Kau kehujanan?"

"Aku harus berganti pakaian. Ini sesuatu yang tidak sopan jika aku melakukannya di depan seorang pangeran," kata Vion setengah bercanda.

Aku masih sedikit canggung karena merasa tertangkap basah membaca buku yang bukan milikku tanpa izin.

"Oh? Tenang saja, aku akan menutup mataku!" kataku lalu menutup mata rapat-rapat.

Vion terkekeh, namun hatiku tercubit saat memperhatikan raut wajahnya.

Aku agak penasaran, bukan tentang bukunya, tapi aku melihat matanya memerah dan sembab. Aku membuka sedikit mataku untuk memastikan Vion baik-baik saja. Namun, aku melihat beberapa bekas luka di tubuh Vion. Bekas luka yang sudah mengering dan bekas luka baru di sekitar perutnya.

"Vion, kau baik-baik saja?" celetukku spontan.

"Kenapa?"

"Katakan padaku," ucapku.

"Soal apa?"

"Kau darimana saja? Apa yang kau lakukan di luar sana?"

"Aku sudah mengatakannya padamu. Aku berbincang sedikit dengan Raja."

"Bukan, maksudku apa yang kau lakukan setelah menemui kakak sepupuku?"

Vion terdiam. Aku kembali memejamkan mataku saat Vion berbalik karena telah selesai berpakaian. Ia mendekatiku. Ia duduk di atas ranjangnya bersebelahan denganku. Tangannya yang memegang handuk masih sibuk mengeringkan rambutnya.

Behind The Story of King's Diary (Brothership)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum