PROLOG

794 55 4
                                    

Desa tempat kami tinggal, cukup terasing dari padatnya Ibu kota. Desa kami memiliki lahan pertanian yang amat luas dan subur. Kami adalah sekelompok bangsa kecil yang telah tinggal ribuan tahun sebelum Armeeya menjadi pemerintahan yang kuat. Kami memiliki warisan nenek moyang berupa ilmu sihir, begitu kebanyakan orang menyebutnya, Viore.

Aku hanyalah seorang anak laki-laki dari bangsa Viore yang tinggal dengan ayah dan adik kecil yang gemuk dan sehat. Kami hidup bahagia sebagai petani yang mendistribusikan hasil pertanian kami ke Ibu Kota. Rumah kami sangat kecil dan nampak menyedihkan jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang berada di pusat perdagangan Ibu Kota.

Meski begitu, aku menikmati kesederhanaan ini. Kami bisa menyantap makanan hangat dari hasil pertanian dan menyediakan susu segar untuk adikku. Kami bisa menikmati udara yang bersih dan langit malam yang penuh dengan bintang-bintang. Kami juga bisa mendapatkan kayu bakar dengan mudah sehingga bisa menjaga gubuk ini tetap hangat.

Setiap pagi, ayahku sudah bersiap ke ladang. Jadi, pekerjaan lainnya aku lakukan bersama adikku. Adikku itu masih kecil, tapi dia sangat pandai dan cekatan. Kami selalu melakukan semua hal bersama. Terkadang, ayahku khawatir kami tidak bisa mandiri jika sudah besar nanti.

"Vion!!" panggil ayahku seperti biasa saat pagi-pagi sekali.

Aku menghampiri ayah dengan mata setengah terbuka dan rambut acak-acakan. Ayah sedang menyiapkan sarapan, sementara aku harus membantunya merapikan beberapa hal dan membangunkan adikku. Kemudian, kami menyantap sarapan bersama sebelum ayah pergi ke ladang. Sepeninggal ayah, banyak hal yang kulakukan dengan adikku. Kami bermain dengan ilmu sihir, mencoba permainan anak-anak di jalanan bersama dengan teman-teman kami, dan sesekali adikku memintaku menemaninya menggambar.

Aku hendak merapikan peralatan melukis adikku, karena dia baru saja tertidur saat kutinggal sebentar. Aku membuka peti yang kami gunakan untuk menyimpan barang-barang dan menemukan sebuah buku yang dengan sampul tebal berwarna coklat. Aku penasaran dan meniup debu yang menutupi sampulnya.

Aku membukanya, menemukan beberapa tulisan yang ditulis dengan tinta mahal. Seperti buku harian seseorang, tertulis kisah-kisah yang disertai tanggal dan nama tahun. Namun, ada pula lembar-lembar berisi coretan gambar milik adikku dan beberapa lembar halaman yang terlipat rapi layaknya sengaja dilipat. Selain itu, masih ada beberapa halaman kosong dengan kertas yang mulai menguning.

V, aku perlu bantuanmu untuk menyelamatkan Armeeya...

Sebuah kalimat dalam buku itu membuatku merinding. Aku tidak tahu apa maksudnya, ada apa dengan Armeeya, dan siapa meminta bantuan pada siapa. Aku pun menyimpannya kembali, kupikir buku itu adalah sesuatu yang penting. Aku berniat akan menanyakannya pada Ayah petang nanti saat ia kembali.

Sayangnya, ayah tak kunjung tiba di rumah. Langit mulai gelap dan aku mendengar sedikit keributan di luar sana. Aku menutup pintu dan semua jendela. Adikku berlindung di bawah selimut dan aku mencoba menenangkannya. Sesekali aku mengintip ke luar dari celah-celah dinding kayu rumah kami. Aku hanya melihat orang-orang berseragam datang dengan kuda mereka, membawa senjata dan berteriak. Tidak hanya rumah kami, rumah teman-teman kami juga didatanginya.

"Cepat keluar!"

Aku terdiam, meniup semua lilin agar terlihat tidak ada siapapun di dalam rumah kami. Entah mengapa, aku mengambil buku yang tadi siang kutemukan dan memasukkannya ke dalam tas selempang jelek yang diberikan ibuku dahulu. Kemudian, aku bersembunyi di dalam lemari bersama adikku.

Adikku menangis dan tak bisa berhenti gemetaran. Ia ketakutan, terlebih saat terdengar suara pintu rumah kami dirusak. Dan aku dapat mendengar suara ayahku menyusul.

Behind The Story of King's Diary (Brothership)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant