BEGIN II

208 28 0
                                    

ILVERO GENIO


Aku terlambat. Anak bernama Vion yang berhari-hari kuselidiki itu malah sudah berada di Istana. Anak itu melakukan hal gila yang sebaiknya tidak ia lakukan. Bukankah jika ia berada di Istana, semua malah akan menjadi kacau? Saat kukatakan hal tersebut pada Tuan Levi, ia tidak banyak berkomentar, hanya mengembuskan napas dan mengatakan agar aku tenang.

Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Sejak Levi dan Aurum memimpin kelompok-kelompok kecil untuk memburu target kami, aku punya misi lain untuk mencari strategi baru dan menemukan cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan. Aku sudah lama menyelidiki kemiliteran Istana dan memperoleh data yang cukup akurat mengenai target-target kami. Selama beberapa tahun kami hanya menyelidiki, berdiam sambil menguntit satu per satu hingga kami siap untuk memulai aksi kami, dimulai dari pembunuhan Veloz tempo hari. Kini aku melanjutkan pekerjaanku menyelidiki beberapa hal terkait.

Ah, aku ingin membocorkannya tapi aku masih punya etika untuk tidak memberitahukan mentahan dan kisah di balik semua ini.

Mungkin sejauh ini, aku adalah orang yang paling tahu. Masih ada beberapa penemuanku yang belum kuinformasikan pada Levi. Aku memilah beberapa informasi yang pantas diterima olehnya. Aku hanya tidak ingin dia terlalu banyak pikiran hingga membuatnya sakit. Ia terlihat kuat namun sebenarnya tidak. Bahkan tentang Levi sendiri, akulah yang paling mengenalnya.

Hari ini lagi-lagi Aurum mendatangiku dengan wajah lesu. Hari ini ia gagal, katanya. Ia kembali tanpa mengotori tangannya sedikitpun dengan darah. Ia tidak berhasil mengambil momen yang tepat untuk membunuh targetnya. Kulihat bibirnya cemberut saat sedang mengambil sesuatu di dalam kulkas.

"Kak, bisakah aku di sini sebentar?" tanyanya langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruangan kerjaku.

"Asal kau tidak tidur dan mendengkur di situ," ujarku lalu tertawa ringan.

"Padahal suara dengkuranmu lebih berisik daripada aku." Ia bangkit dari posisinya lalu membuka kaleng minuman yang baru saja diambilnya dari kulkas.

Ia meneguk minumannya dengan cepat seolah sudah beberapa hari menahan haus.

"Kau sudah dengar berita tentang para prajurit yang kita bunuh itu? Mereka semua hilang di lokasi kejadian," katanya langsung kujawab dengan anggukan kepala.

"Apa berita itu membuatmu gagal hari ini? Kau tidak fokus atau semacamnya?" tanyaku benar-benar tidak bisa menyaring kalimatku.

Aurum hanya terdiam. Ia memandangi kaleng minumannya. Aku bisa membaca kekecewaan di wajahnya. Tujuan kami adalah memberikan ancaman dan menyebabkan ketakutan sehingga orang-orang licik itu dapat menyadari kejahatan masa lalu yang mereka lupakan. Namun, menghilangnya mayat-mayat itu membuat tujuan kami itu lenyap bagai diterbangkan angin.

"Kita bisa menikmati hasil kerja kita sendiri, kan? Tidak perlu memikirkan lawan. Kau tahu? Aku selalu bekerja di balik layar dan puas saat kalian memujiku. Itu sudah cukup."

Aurum terkekeh pelan. Ia lalu meneguk habis minumannya. "Aku bisa melakukannya, kok. Aku gagal bukan karena kepikiran tentang itu. Jangan khawatir."

Dia terlihat menggemaskan. Mata bulat dan pipi tembam itu perlahan menajam seiring usianya bertambah, tapi aku senang saat ia masih ingat untuk menunjukkan sisi imutnya padaku. Aku mengusak pucuk kepalanya lalu kembali menatap berkas-berkas yang sedang kuperiksa.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Aurum mendekat.

Aku menyingkirkan beberapa berkas yang menurutku agak beresiko jika Aurum melihatnya sekarang. Aku hanya menyisakan beberapa berkas di meja yang terkait dengan para prajurit dan seorang menteri bernama Lucas.

Behind The Story of King's Diary (Brothership)Where stories live. Discover now