23. Awal Kehancuran

Mulai dari awal
                                    

Pukulan demi pukulan terdengar memenuhi lorong. Dan pelakunya adalah Ilyas. Seseorang yang ditugaskan oleh Max untuk menjaga Althaia dari jauh. Namun, ia kecolongan karena Dylan lagi-lagi berhasil mencelakai Althaia. Sungguh ia sangat marah pada dirinya sendiri karena tak bisa menjaga amanah.

Telinga Althaia berdengung. Samar-samar ia bisa melihat Grace yang berusaha menyadarkannya dengan panik.

“WOY BANTUIN GUE BAWA DIA.”

“KALIAN MANUSIA BUKAN SIH? KENAPA DIAM AJA SAAT ADA ORANG YANG SEKARAT?!” teriak Grace dengan nyaring. Tubuhnya bergetar melihat tubuh Althaia yang semakin melemas dan akhirnya kesadaran yang berusaha dipertahankan hilang juga.

Seorang laki-laki datang menghampiri Grace dan Althaia. Tanpa banyak bicara, laki-laki tersebut menggendong tubuh Althaia menuju UKS. Diikuti Grace di belakangnya yang menangis takut.

[Hello Max]

Bunyi lenguhan terdengar dari bibir Althaia. Diikuti matanya yang mulai terbuka. Ruangan serba putih menyambut penglihatannya.

“Althaia, you ok? Mau minum?” tanya Grace bertubi-tubi. Ia senang karena setelah 1 jam lamanya menunggu, Althaia bisa terbangun dari pingsannya.

“Minum.”

Grace langsung memberikan Althaia minum.

“Ini jam berapa?”

“Jam 8. Lo udah pingsan selama satu jam.”

“Terus Lo? Kenapa di sini? Bukannya kelas udah dimulai.”

“Ya nunggu Lo lah. Gue udah izin sama guru buat jaga Lo di UKS.”

Althaia mengangguk. Ia kembali merebahkan diri di brankar UKS.

“Lo mau pulang aja?”

“Gak. Gue baik-baik aja, cuma leher gue sakit dan perih.”

“Wajar sih, si brengsek Dylan itu bukan manusia. Bisa-bisanya main kasar sama perempuan.”

“Terus sekarang dia? Dimana?”

“Di ruang BK. Sebentar lagi dia bakal dikeluarkan dari sekolah. Lo tenang aja.”

“Segitunya?”

“Iyalah. Selain karena perbuatan dia ke Lo, dia juga udah buat aib sekolah dengan berbuat mesum sama partnernya itu.”

“Hmm iya.”

“Lo tidur aja. Gue tunggu.”

Althaia mengangguk. Ia memejamkan matanya.

Sedangkan Grace mengirimkan pesan pada Max. Memberitahukan bahwa keadaan Althaia berangsur membaik setelah sadar.

[Hello Max]

Bel tanda pulang sekolah berbunyi nyaring. Seluruh murid bersorak karena waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Semua berhamburan keluar kelas menuju parkiran mengambil kendaraan masing-masing untuk pulang.

“Gue duluan Al,” ucap Grace berpamitan pada Althaia.

“See you, hati-hati di jalan.”

“Oke.”

Althaia mengedarkan pandangan ke segala arah. Melihat apakah sopirnya sudah menunjukkan tanda-tanda akan datang.

“Kak!”

Althaia menoleh. Entah siapa yang dipanggil, tapi kepalanya refleks mencari sumber suara.

“Eh, Matt?!”

Althaia terkejut melihat Matthew yang datang ke sekolahnya dengan masih mengenakan seragam SMP. Juga sebuah motor matic kendaraan Matthew.

“Bisa bicara sebentar?” tanya Matt dengan nada yang panik, khawatir, dan terdengar sedih.

“Kenapa? Ada masalah?”

“Kakak bisa bantu aku?”

“Bisa-bisa. Bantu apa? Bilang aja sama gue.”

“Abang sakit kak, dari semalam demamnya tinggi banget. Tapi Abang gak mau dibawa ke rumah sakit ataupun minum obat. Bahkan Abang juga gak mau makan apapun. Aku gak tahu dan gak berani mendekat.”

Althaia mengusap bahu Matt yang bergetar. Ia menunggu adik Max tersebut menyelesaikan ucapannya.

“Kakek lagi di luar kota, bibi juga udah berulang kali bujuk Abang keluar, tapi hasilnya nihil. Aku takut Abang kenapa-kenapa.”

“Lo bisa boncengin gue, kan? Gue ke rumah Lo buat bujuk Max.”

Althaia khawatir mendengar ucapan Matthew mengenai keadaan Max. Padahal tadi pagi Max mengabarinya jika tak bisa menjemput dan pergi sekolah karena ada urusan mendadak. Bukan sakit.

“Ayo kak.”

Althaia langsung naik di jok belakang motor Matt. “Lo gak bawa helm dua?"

“Gak kepikiran kak, aku terlanjur panik. Gak tahu lagi harus minta bantuan siapa. Karena kakak satu-satunya perempuan yang dekat Abang, aku inisiatif minta bantuan kakak.”

“Ya udah, kalau ada polisi yang patroli Lo langsung ngebut aja.”

Matthew langsung menghidupkan motornya. Melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sedangkan Althaia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi sopir dan juga kedua orang tuanya jika pulang terlambat.

Tak sampai 15 menit, motor yang dikendarai Matt sampai di halaman luas tempat tinggal Max.

Beruntung sepanjang perjalanan tak ada polisi yang biasanya berpatroli. Keberuntungan di tengah kegentingan.

“Ayo masuk kak.”

Matt mempersilahkan Althaia untuk mengikuti langkahnya. Ia langsung menunjukkan letak kamar Max yang tertutup rapat.

“Pintunya dikunci, tapi aku ada kunci cadangannya. Ini, kakak bisa masuk dan aku mohon bujuk Abang supaya mau makan dan minum obat. Aku percaya sama kakak,” ucap Matthew penuh harap.

Althaia mengangguk. Meskipun dalam hati merasa takut jika Max marah karena lancang memasuki kamar pribadinya.

“Doain gue selamat ya,” ucap Althaia dramatis.

“Semangat!”

Akhirnya, dengan keberanian yang ditanamkan dalam hati, Althaia membuka pintu kamar Max dengan kunci yang diberikan Matt. Ruangan sunyi dan gelap menyambut penglihatannya.

“Max.”

(To Be Continue)

Hello MaxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang