Water Stream

41 8 4
                                    

2 orang bocah yang berbeda gender tengah berjalan menyusuri jalan menuju ke rumah mereka. Setelah mencari kayu bakar, mereka pulang.

Eren diam sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulut nya. "Eren, sebaiknya kamu urungkan niat untuk menjadi Pasukan Pengintai." Mikasa tiba tiba membuka obrolan yang sedari tadi hanya diam.

Eren sedikit terkejut dengan usulan Mikasa. "Apa? Kamu juga menganggap mereka orang orang bodoh, ya?" Tekadnya sudah bulat, apapun resiko nanti yang dia terima, dia akan tetap menyandang gelar sebagai Pasukan Pengintai.

"Ini bukan masalah bodoh atau tidak...." Ucapan Mikasa terpotong, lonceng raksasa yang berada tepat di atas gerbang berbunyi. "Pasukan Pengintai sudah kembali! Gerbang depannya telah dibuka! Ayo Mikasa!" Eren langsung menarik tangan Mikasa.

Mereka berlari cepat menuju barisan orang orang yang tengah memperhatikan parah pasukan pengintai.

Eren menaiki sebuah papan yang tertumpuk, agar ia bisa melihat pasukan pengintai yang baru saja pulang. Matanya menatap kesana kemarih, ia terkejut melihat keadaan pasukan pengintai, beberapa dari mereka ada yang terluka parah, beberapa anggota tubuhnya hilang, ada yang dari mereka cacat permanen. Bahkan ada yang tidak pulang.

Wajah mereka sangat gelap, kemurungan menyelimuti wajah mereka. Tidak ada senyum sedikitpun yang terpancar dari wajah mereka, segala rasa tidak mengenakkan menyelimuti hati dan jiwa mereka.

"Yang berhasil pulang hanya sebanyak ini?"

"Semuanya pasti telah di makan."

"Beginilah jadinya kalau kita pergi keluar tembok."

"Kalau begini, pajak yang kita bayar hanya untuk mengisi perut mereka."

Eren kesal, tidak ada sambutan meriah hanya ada umpatan belaka dari masyarakat sekitar yang tampak menyesal membayar sesuatu untuk keperluan pasukan yang hanya mengorbankan nyawa.

Eren mengambil sebatang kayu, ia tidak terima pasukan yang ia anggap pahlawan bisa di hina seenak itu. "Eren?" Mikasa khawatir, apa yang Eren lakukan akan menyebabkan masalah. Dan ujung-ujungnya dia lagi yang bakalan menyelesaikan.

Tangannya sudah terangkat, namun tiba-tiba pergerakan terhenti entah apa yang membuat nya terhenti. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena ketakutan, melainkan sesuatu hal yang membuat nya seperti orang yang tengah menangisi sesuatu.

"Eren." Suara lembut gadis bersyal merah, memperhatikan saudara angkatnya yang tampak semakin bergetar. Tangannya menggenggam erat kayu yang di pegang nya.

"Eren!"

Eren membuka matanya, ia terbangun dari pingsannya yang cukup lama. Matanya melotot ketakutan, entah apa yang dia lihat dalam mimpi nya. Ia sedikit berkeringat.

Suara roda kereta kuda menggema di telinga nya, nafas yang tidak beraturan membuat nya sedikit sesak. "Eren..." Panggil nya sangat lembut, membuat Eren berusaha untuk duduk atau bersandar.

"Sebaiknya kau jangan bangun dulu. beristirahatlah sejenak." Ujar Mikasa. Eren sedikit melihat ke kanan, ia mengingat sesuatu. "Raksasa wanita?" Ujar Eren yang raut wajah sedikit ketakutan.

"Dia kabur." Jawab Mikasa yang tampak pasrah. Eren sedikit berkeringat. "Kenapa? Bagaimana dengan yang lain? Rencananya?" Mikasa menatap Eren, mata obsidian nya tetap menatap pria yang baru bangun dari tidurnya.

"Gagal..." Ujarnya datar. Eren sudah bisa mengatur nafasnya, ia menatap kain yang menyelimuti tubuhnya. "Ini, apa kau menyelamatkan ku lagi, ya." Mikasa sedikit mengangkat scrafnya. Ia menghirup aroma khas dari scraf berwarna merah tersebut. Sebentar lagi kita akan sampai di tembok."

 OMINOUS THE FUTUREKde žijí příběhy. Začni objevovat