Bab 73. Amarah yang Terpendam

1.5K 75 0
                                    

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas keluar ruangan sambil terus berbicara di telepon. Setelah meminta Alesha pulang terlebih dulu, Glen meneleponnya dan mengabari jika Anton tumbang lagi. Pria itu meminta Glen untuk pergi ke rumah sakit dan mereka bertemu langsung di sana. Dia mengakhiri pembicaraan melalui telepon dan bergegas menyusul.

Di dalam mobil, dia sempat bimbang untuk mengabari Alesha atau tidak. Namun, setelah mempertimbangkan segala kemungkinan, pria itu memutuskan untuk menanganinya sendiri. Lagi pula, kekasihnya itu belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Bagas segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit.

Tiba di lobi rumah sakit, pria yang masih mengenakan setelan jas itu langsung menuju kamar rawat Anton.

"Oke. Gue udah deket, kok."

Bagas memasukkan ponsel ke dalam saku jas setelah berbicara dengan Glen melalui telepon. Dia belok ke kanan di ujung lorong lantai satu lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Setelah menyusuri koridor lantai dua, dia tiba di kamar komor 215. Pria itu mengetuk pintu lalu membukanya dan langsung bertemu dengan Glen.

"Gimana kondisi Om Anton?"

Glen menggeleng lemah. "Dokter masih melakukan pemeriksaan. Sepertinya kali ini lebih parah."

Bagas berbalik menghadap tembok sambil meremas rambutnya. Dia menunduk dengan kedua tangan memegang dinding. Pria itu kembali menghadap Glen setelah menghela napas panjang. Dia berusaha tersenyum saat Glen menepuk pelan lengannya.

"Semoga semuanya baik-baik aja, Gas."

"Iya, gue juga berharap gitu. Gue nggak tau harus jelasin gimana sama Alesha kalo sampek Om Anton kenapa-kenapa."

Kedua pria itu menoleh bersama saat dokter selesai memeriksa kondisi Anton. Bagas maju untuk mendengarkan penjelasan dokter.

"Bagaimana kondisi Om Anton, Dok?"

Pria paruh baya berjas putih itu berdeham sebelum berbicara. "Maaf, Anda siapanya Pak Anton? Bukannya beliau hanya memiliki seorang putri?"

Bagas sempat kebingunan mencari jawaban, sepertinya dokter itu sudah sangat mengenal keluarga Anton Wijaya. Dia memperlihatkan senyum termanis kepada dokter yang masih menunggu jawabannya itu.

"Saya calon suami dari putri Om Anton, Dok. Kebetulan calon istri saya masih ada keperluan dan belum bisa dihubungi. Jadi, Dokter bisa bicara dengan saya mengenai kondisi dari Om Anton."

Bagas bisa melihat jika Glen yang berada di sampingnya melotot mendengar pernyataannya barusan.

"Oh, baik kalo gitu. Kondisi Pak Anton saat ini jauh lebih buruk dari terakhir kali beliau pingsan. Penyakit jantung yang diderita beliau makin parah dengan adanya penyumbatan pembuluh darah menuju jantung. Kami butuh persetujuan putrinya untuk melakukan operasi. Jadi, saya mohon segera hubungi calon istri Anda."

Bagas benar-benar syok mendengar penjelasan dari dokter tersebut. Wajahnya kini makin pucat dengan kepala yang terasa mau pecah. Dia hampir saja terjatuh kalau Glen tidak segera menahannya.

"Baik, Dok. Saya akan memberitahukan kondisi Om Anton pelan-pelan kepada calon istri saya. Terima kasih banyak, Dok. Saya mohon lakukan yang terbaik untuk kesembuhan ayah mertua saya."

"Baik, kalo gitu saya permisi dulu."

Bagas duduk di kursi samping brankar, sementara Glen mengantar dokter keluar dari ruang rawat.

His Secretary [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang