Bab 6. Interview

3.3K 183 0
                                    

▪︎ Happy reading

▪︎ Kalo suka tinggalkan jejak, ya

▪︎ Kalo suka tinggalkan jejak, ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

~~~

Bagas duduk di meja makan dengan ditemani sekaleng minuman bersoda dan camilan yang dibelinya di swalayan samping gedung apartemen. Dia memikirkan perkataan wanita beernama Alesha di pesta tadi. Pendapat wanita itu mengenai produk yang tepat untuk pendekatan pasar remaja memang benar adanya. Namun, pria itu belum menemukan ide untuk produk terbaru perusahaannya yang dapat menjangkau pasar remaja.

Jika mengikuti selera pasar untuk memproduksi makanan dengan beberapa level kepedasan, perusahaannya belum menemukan petani cabai yang bisa konsisten menghasilkan cabai dengan kualitas terbaik. Kalau harus mengimpor cabai, perusahaannya belum mampu mengeluarkan biaya besar. Bagas lebih mengutamakan hasil pertanian lokal untuk mengangkat penghasilan petani dalam negeri.

Sebaiknya dia mempekerjaan wanita itu di perusahannya. Namun, nomor ponsel wanita itu saja dia tidak punya. Oh, bukankah dia tinggal mengentuk pintu apartemen di depannya? Tidak, tidak, tidak. Pria itu menggeleng keras. Kalau nanti wanita itu melakukan kesalahan lagi bagaimana? Bisa-bisa bukan hanya pakaiannya saja yang kotor, tetapi nama baik perusahaan juga. Big, no!

Ponselnya berdering saat pria itu membuka kaleng ketiga. Dia meletakkan kaleng minumannya di meja lalu beralih mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari Dewi.

"Iya, Mbak?"

"Gas, ini udah ada beberapa lamaran yang masuk. Enaknya langsung dipanggil buat interview atau gimana?"

"Ada berapa, Mbak? Kira-kira cocok nggak kualifikasinya buat jadi sekretaris? Aku nggak mau mereka berakhir kayak sekretaris-sekretaris sebelumnya."

"Kalo diliat dari CV-nya, sih ada sekitar dua sampe tiga orang yang masuk. Tapi, apa nggak sebaiknya dipanggil aja semua biar kamu yang milih sendiri. Kamu langsung yang interview mereka gitu. Gimana?"

"Aku ngikut kata kamu aja, Mbak. Yang penting mereka nggak bikin ulah dan buat kepalaku mau pecah."

Dewi tertawa di seberang telepon. "Okelah. Aku juga rencana mau ngasih tau sepupuku buat ngelamar juga. Lumayan, kok kerjanya. Bisa dibilang lebih baiklah dari yang sebelum-sebelumnya. Moga aja dia mau, ya."

"Kalo ada yang lebih meyakinkan ya pakek dia aja, Mbak. Yang lain nggak usah dipanggil."

"Kamu ini kebiasaan. Ya tetep harus dipanggil, dong. Kali aja kamu nggak setuju sama sepupuku itu. Udah, ah. Besok aku kasih pengumuman buat para pelamar ini biar dateng ke kantor lusa untuk interview."

"Oke. Kabari aja kapan aku harus interview. Biar aku atur jadwal kalo janji di luar kantor."

Bagas mengakhiri sambungan teleponnya setelah Dewi memberi salam. Pria itu mengambil kaleng minuman yang tadi dibukanya lalu meneguknya hingga tandas. Kepalanya saat ini serasa mau pecah. Banyak hal yang harus dilakukannya untuk membuat perusahaan makin maju dan bisa menembus pasar internasional.

His Secretary [TAMAT]Where stories live. Discover now