"Maksud Onad melamun?"

"Iya." Onad mengangguk semangat membuat Damar tersenyum bangga, kini tak hentinya Damar berdoa semoga saja Onad menuruni kecerdasan otak yang Damar punya.

"Om Jamal kenapa melamun?"

"Om nggak melamun kok,"

"Om bokong!" Tuduhnya tak terima, "Olang dali tadi Om Jamal Nad panggil diem-diem telus. Kata Mama kalau olang diem-diem telus itu ada dua hal yang mungkin teljadi. Yang peltama kesulupan, tapi belhubung yang diem-diem telus itu Om Jamal jadi ndak mungkin kalau Om Jamal kesulupan."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Kalena setan ndak mau melasuki temannya sendili. Iyakan Om?"

Damar mengangguk, kemudian langsung meralat dengan menggelengkan kepala. Namun Onad lebih menganggap gerakan yang pertama sebagai jawaban.

Onad menatap Damar prihatin, "Om tenang, Nad bisa mengelti." katanya sok bijak.

Damar terdiam, kebingungan merangkai kata untuk menimpali perkataan Onad hingga lelaki kecil itu kembali bersua.

"Om napa diem? Wajah Om juga tellihat teltekan." Celetuknya memindai wajah Damar. "Kata Mama olang yang suka melamun itu kalena mikilin utang. Emang utang Om banyak ya?"

"Udah Om, jangan telalu dipikilkan. Takutnya kalau Om tellalu belpikil kelas giginya nambah lontok. Kasihan Om nanti sekali mangap langsung masuk angin."

Tenggorokan Damar terasa semakin tercekat, rasanya kemampuannya bersua kini hilang tak tersisa. Pernyataan polos Onad mampu membuat hatinya terasa berdenyut nyeri. Kenapa lidah Onad begitu berbisa seperti Ibunya?

"Om Jamal!"

Damar menelan ludahnya susah payah, "I -iy -iya Nad." jawabnya terbata.

"Om Jamal napa diem lagi? Telsindil ya?" Onad menepuk-nepuk pelan tangan Damar yang ditutupi selimut. "Yang sabal ya Om, telkadang kenyataan itu memang menyakitkan."

Senyum kecut terlukis pada wajah lelaki di tangan kanannya tertancap selang infus itu. Matanya memejam sesaat, mencoba mencari celah agar rasa sakit yang dirasa terbuang percuma walau nyatanya rasa sakit itu tetap ada. Sekarang bukan hanya rasa perih di sekujur tubuh yang terasa. Ada yang lebih menggerogot dari luka-luka itu, sebongkah organ dalam dada yang kini berdenyut kian menyiksa. Hingga tak terasa setitik air mata jatuh di sudut mata.

"Om Damkal jangan nangis," Tangan mungil Onad merogoh kantong celana, mengambil selembar kertas berwarna merah yang digunakan untuk mengelap air mata Damar dan itu mampu Damar merasa haru, ternyata di balik semua kata pedas masih tersimpan kepedulian untuknya.

Onad kembali merogoh kantong, mengambil beberapa lembar kertas berwarna merah dan menyodorkannya pada Damar, "Ambil buat ngapus ail matanya Om! Kata Mama, sekali-kali kita boleh mengeluarkan ail mata tapi hapusnya halus pakai duit kalena kita akan telmasuk manusia yang melugi kalau hanya bisa menangis tanpa belselimut kekayaan."

"Uangnya buat Onad aja,"

Onad menggeleng, "No no! Duit Nad di lumah ada banyak, ini buat Om Damkal. Nad tahu Om Damkal ndak punya duit, jadi Nad sumbangkan duit pada olang yang membutuhkan yaitu Om Damkal."

Sejumput Dendam RanaWhere stories live. Discover now