Part 2

133K 14.4K 1.2K
                                    

Seulas senyum terbit dari kedua bibir perempuan dengan setelan kaos dan celana jeans itu. Tebakannya benar tentang semua kartu debit dan kreditnya yang diblokir oleh suaminya atau Ibu mertuanya mungkin. Memikirkan itu Rana jadi geli sendiri, mengapa memblokir kucuran dana yang Rana sendiri ikut andil dalam mencari?

Memang perusahaan yang dikelolanya bersama Damar merupakan perusahaan milik keluarga laki-laki itu. Namun tak ingatkah jika Rana juga ikut andil di dalamnya? Bahkan Ranalah yang dengan sigap menggantikan atau membantu suaminya dalam menghandel semua yang berkaitan dengan kebijakan maupun seluruh pekerjaan kantor milik suaminya.

"Onad?" panggil Rana pada anak lelaki yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Membuat anak lelaki yang sedari tadi sibuk memainkan rubik itu menoleh sebentar lalu kembali asik dengan rubik di tangannya.

"Sayang, dengerin Mama ya? Pokoknya apapun yang didenger maupun apapun yang Onad liat tadi di kamar Papa anggep aja kalau Onad gak pernah denger dan liat ya?" setelah melihat anggukan samar dari Onad, Ibu beranak satu itu mulai melajukan mobillnya kembali.

Onadio Alucas Maheswara seorang lelaki cilik berusia dua puluh dua bulan. Anak lelaki yang begitu tampan dengan mata bulat kebiruan, bulu mata lentik dan bibir kemerahan. Sayang kesempurnaan fisik itu tak bisa melunturkan cemoohan semua orang karena keadaannya yang berbeda. Onadio mengalami ganguan tumbuh kembang yang membuatnya kesusahan dalam berjalan maupun berbicara.

Bukan tak peduli, tentu sebagai orangtua Rana sudah mengusahakan yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Seluruh dokter dalam maupun luar negri sudah banyak dijelajahinya, hanya saja belum ada kemajuan apapun.

Walau begitu bukan berarti mereka bisa mengatasnamakan keistimewaan Onad untuk mencari kebenaran atas tindakan salah mereka bukan? Bukankah semuanya sudah kehendak dari Tuhan? Tentu jika bisa memilih Onad juga tak mungkin menginginkan perbedaan dalam dirinya.

Tuk

Sebuah tutup botol melayang pada kepala Rana. Membuat Ibu beranak satu itu mengerjab. Terlalu larut dalam pikirannya membuat Rana melupakan posisinya yang masih mengemudi. Untung saja Onad tanggap menyadarkannya.

"Maaf, Mama ngelamun. Terimakasih udah nyadarin Mama, Sayang." ujar Rana sembari mengelus pelan kepala anak semata wayangnya yang fokus pada rubik berwarna-warni itu kembali.

Lihatlah mereka hanya fokus pada kelebihan milik Onad. Tanpa mereka sadari potensi yang begitu luar biasa yang dimiliki olehnya.

"Onad mau makan dulu?" tanya Rana membuat Onad menggeleng dan membuat gerakan dengan tangan seolah menggambar segitiga.

"Mau pulang ke rumah?"

Melihat Onad tersenyum dan mengangguk. Membuat Rana ikut tersenyum dan memutar kemudinya menuju ke arah rumah.

Rumah? Mungkin memang terlihat seperti rumah, namun sayang sesuatu yang Rana jadikan tempat berlindung kini sudah kehilangan fungsinya. Rumahnya sudah tidak lagi sama, semuanya berubah seiring dengan janji suci yang diucapkan suaminya dengan wanita lain.

Sebenarnya feeling Rana tentang perselingkuhan suaminya sudah tiga bulan belakangan ini tercium. Namun Ibu beranak satu itu lebih memilih bungkam. Bukan ingin menjadi perempuan yang sedang bermain peran dalam sinetron yang akan diam saja saat disakiti.

Justru bungkamnya Rana karena dirinya sedang mengumpulkan bukti dan membuat rencana-rencana yang membuat pihak lawannya bungkam. Rana bukan wanita bar-bar yang akan menjatuhkan harga diri untuk menjatuhkan lawan, namun Rana adalah perempuan tangguh yang melawan mereka perlahan. Bukankah semakin dalam air maka riaknya semakin tidak terlihat?

~Sejumput Dendam Rana~


Kendaraan beroda empat itu berhenti di depan rumah miliknya. Namun dahi Rana mengkerut begitu mendapati jika ada beberapa mobil yang sudah berada di sana. Termasuk mobil milik Ibu mertuanya.

Memang sedari pulang dari rumah sakit, Rana memilih singgah pada pusara milik orang tuanya. Berdiam, merenung sembari memeluk Onad selama dua jam. Setelah itu baru dirinya berjalan ke arah rumah dan sekarang Rana sedikit menyesali keputusannya itu.

"Onad. Dengerin Mama ya. Apapun yang Onad denger dan Onad lihat. Onad gak boleh inget-inget." pesan Rana membuat Onad tersenyum, sebuah senyuman yang membuat Rana tertegun. Rasanya baru pertama kali ini Rana melihat senyuman Onad yang berbeda.

Akhirnya Rana memilih untuk segera keluar dari mobilnya, sembari menggendong Onad yang membawa botol dan rubik di tangan kirinya.

Cekleekk,

"Assalamualaikum."

Setelah mengucap salam Rana masuk ke rumah. Membuat keadaan ruang tamu yang tadinya ramai itu menjadi hening. Namun Rana memilih abai terus berjalan sembari menggendong Onad. Bahkan Ibu beranak satu itu tak perlu repot untuk mendekat ke arah Ibu mertua, Kakak Ipar dan madunya tentu saja.

"Siapa yang nyuruh kamu masuk rumah?" bentak Karmila membuat Rana menyerngit, menatap tajam ke arah ibu mertuanya.

"Sejak kapan Tuan rumah harus meminta izin pada tamu? Bukankah terbalik, harusnya tamu yang meminta izin pada Tuan rumahkan?" sindir Rana membuat wajah perempuan paruh baya itu memerah.

"Ini rumah anak saya, jadi terserah saya mau datang kesini kapanpun saya mau. Lagipula yang beli rumah ini itu anak saya! Jadi bukan urusanmu."

Rana menghela nafas lalu mendekat ke arah Ibu mertuanya yang berdiri bersedekap seraya menantang. Oh ayolah Rana sekarang sudah seperti seorang menantu tak diinginkan yang mencoba ditindas oleh Ibu Mertuanya. Persis seperti sinetron.

"Dan kebetulan anaknya situ suami saya. Lagipula rumah ini adalah hadiah atas kelahiran putra kami. Akan sangat tidak terhormat bukan jika mengungkit-ungkit sebuah pemberian?" ejek Rana sembari menaikkan sebelah alis.

"Halah itu pasti karena kamu yang maksa-maksa Damarkan? Saya tahu pemikiran perempuan miskin seperti kamu. Isinya hanya tentang harta. Kamu pikir saya gak tahu kalau kamu menikah dengan Damar hanya untuk mengincar kekayaan milik Damar?"

Rana hanya tersenyum serta menghembuskan nafas kasar. Mau dijelaskan jika tidak, tentu saja hal itu tak lantas membuat Ibu mertuanya percaya bukan? Menjelaskan tentang siapa kita pada orang yang memang tak mempercayai kita hanyalah hal sia-sia. Maka dari itu Rana lebih memilih membiarkan Ibu mertuanya bersama dengan asumsinya.

"Terserah!"

"Lagipula saya gak rela kalau hasil keringat anak saya diserahkan begitu saja sama kamu. Apalagi rumah sebesar ini menjadi hadiah atas kelahiran anak cacat itu? Gak cocok, harusnya gubuk reot yang menjadi hadiah untuk si cacat itu."

"Jangan bawa-bawa Onad!" bentak Rana dengan mata memerah membuat Karmila terkekeh.

"Kenapa kamu harus marah kalau saya sebut anak dalam gendonganmu itu sebagai anak cacat? Tidak terima atau kamu malu telah melahirkannya?" tanya Karmila dengan nada meremehkan pada Rana.

"Sudah aku katakan kalau anakku tidak cacat! Anakku istimewa!"

"Istimewa karena lumpuh dan bisu? Kenapa tidak sekalian saja lubangi matanya agar anak itu buta. Biar lengkap keistimewaannya."

Setelah mengatakan itu Karmila terkekeh, begitu mendapati mata Rana dan anak dalam gendongannya berkaca-kaca. Bukan salahnya, toh semua memang nyata adanya kalau anak itu cacat bukan? Lagipula tidak sudi rasanya mengakui anak yang begitu banyak kekurangan itu sebagai cucunya. Sebuah keluarga terhormat tak layak mempunyai anggota keluarga cacat. Mau ditaruh mana kehormatan keluarga yang selama ini mereka sandang.

"Berengsek!"

"Kenapa kamu tidak terima? Terima saja kenyataannya, Rana. Lagipula sebentar lagi saya akan mempunyai cucu yang akan lahir sempurna dari rahim menantu kesayangan semua orang, Nirmala! Ah sepertinya bukan hanya saya yang begitu menantikan kelahiran anak Nirmala, tapi juga dengan Damar. Pasti Damar bahagia punya anak yang sempurn, jadi dia tak perlu sembunyi-sembunyi lagi seperti saat punya anak cacat dalam gendonganmu."

"Jangan mengatai anakku tua bangka! Ingatlah jika umurmu sudah tidak lama lagi! Aku juga tidak peduli jika kau menantikan anak dari perempuan murahan yang mengobral selakangan pada suami orang. Yang pasti jangan mengatai anakku lagi atau.." jeda Rana lalu berjalan mendekat ke arah Ibu mertuanya.

"Aku akan menyebarkan video mesummu dengan supir pribadimu." bisik Rana sebelum meninggalkan Karmila yang terdiam kaku.

Jadi gimana untuk part ini?

Salam sayang
Author

Sejumput Dendam RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang