17. Seventeen

2.6K 189 27
                                    

•Lapisan-lapisan duka•

kala mata terbuka, bau anyir darah menyapa indra penciuman, begitu menyengat dan menusuk. Raut panik serta terkejut menghiasi wajah gadis yang tak sadarkan diri sejak setengah jam yang lalu. Luka tembak di area kakinya, menjalar, membuatnya yang  memberontak kini diam. Meresapi rasa sakit.

Kini dia tampak menyedihkan. Bagaimana tidak, ia telanjang, serta kedua tangan dan kakinya di rantai sehingga membuatnya tidak bisa bergerak bebas.

"Dasar jalang!" Rasa bencinya pada Daisy semakin meningkat. Menggumpal, dan tumbuh menjadi dendam yang berkoar-koar dan ingin segera terbalaskan.

Padahal yang di lakukannya beberapa waktu lalu pun, juga untuk membalaskan dendam. Tapi rasa-rasanya tak adil, bila semesta malah menghukum dirinya balik. Ini semakin membuat Cheryl benar-benar menginginkan kematian Daisy dan memutilasinya.

Tak hanya itu, ia pun mengutuki dirinya sendiri, sebab terlalu gegabah. Mungkin itu semua di karenakan dendam yang sudah terlampau menggebu-gebu. Menyerang Daisy begitu saja tanpa melihat sekitar adalah kesalahan terbesar Cheryl. Cheryl tidak tahu, bahwa Daisy memiliki temeng yang mengerikan, hingga membuatnya berakhir di sini.

Di menit ke lima, atensinya teralih. Telinganya menangkap suara langkah sepatu, saling bersahutan, terdengar tegas. Cheryl tidak tahu siapa yang datang, tapi pastinya itu lebih dari satu orang. Jantungnya berdegup luar biasa, segala kemungkinan buruk mendadak menghantuinya.

Munculah tiga lelaki dari balik gelapnya ujung lorong sana, ketiganya berjalan selayaknya hewan buas yang ingin melahap habis mangsa di depannya. Cheryl terpaku sesaat dengan  paras menawannya, sebelum akhirnya tersadar bahwa ia sedang dalam kondisi tanpa busana. Refleks Cheryl menunduk malu, dan batinnya mengumpat.

"Wow." Suara Kendrick memecahkan kesunyian. Senyuman culas, penuh hasrat yang membara mengelabui mata lelaki itu.

Darlen mengambil tempat, tepat di depan Cheryl. Di angkatnya dagu gadis itu dengan kapaknya, ketakutan melintas di wajah Cheryl. Darlen tersenyum miring, lelaki itu menghipnotis Cheryl dengan senyuman menawannya. Dan kesempatan itu Darlen gunakan untuk menancapkan kapaknya di pundak kiri Cheryl.

Gadis itu mengerang hebat. Darah berangsur keluar, mengalir pun menetes ke bawah. Darlen merogoh sesuatu, mengambil pisau lipat.

Jleb..

"Aku tidak suka basa basi, jadi bisa kita mulai permainannya?" Kata Darlen to the points, sambil memutar tusukan pada pusar lalu menekannya lebih dalam.

"B-breng..sek!" Maki Cheryl terbata seraya menahan rasa sakit yang teramat dalam. Mata gadis itu memanas, memancarkan kemarahan serta setengah berkaca-kaca. Sementara Darlen tidak menanggapi dan tanpa ampun mengukir tubuh Cheryl. Ruangan hening itu telah terisi penuh dengan raungan keras dan tangisan kesakitan.

Maixel, lelaki bermata coklat terang itu hanya berdiri menyaksikan, tanpa berminat untuk ikut mengotori tangannya.

Tak tanggung-tanggung, Darlen merobek mulut gadis itu sampai ke daun telinga. "Mulutmu kotor, jadi akan lebih baik jika tidak bisa berbicara selamanya." Tutur Darlen dengan wajah datarnya. Tangan kekar itu tampak lihai dan menikmati setiap goresan yang dirinya buat. Darlen merogoh mulut Cheryl, menarik lidah panjangnya ke luar.

Tanpa perasaan Darlen menebas lidah itu dan melemparkannya ke sembarang arah.

Belum merasa puas. Darlen memangkas habis hidung mancung Cheryl, selanjutnya di lempar ke arah Maixel. Dengan sigap Maixel menghindar. "Menjijikan." Ketus Maixel. Matanya bergerak, melesat tajam ke arah Darlen

LIFE WITH KALVINМесто, где живут истории. Откройте их для себя