01 || Kita Imam, bukan makmum!

Mulai dari awal
                                    

Eki menyengir. "Jangan tersinggung, Zay."

"Hm, sahabat-sahabatku yang tercinta, Galih mau berta ...." Galih menggantungkan ucapannya saat para sahabat menatapnya dengan berbagai ekspresi.

"Haha santai aja kali liatinnya. Oke-oke, gue mau nanya, nih," ralat Galih mulai serius.

"Apa?" tanya Elvano

"Apa kita harus punya istri yang sholehah?"

Zayden, Elvano dan Eki saling tatap. Kemudian mereka melihat ke arah Galih secara bersamaan.

"Kenapa nanya gitu?" tanya Zayden.

"Ya, gue nanya. Kalo harus, kan, gue mau nyari istri yang sholehah gitu," jawab Galih.

"Kalo yang sholehah nggak mau sama lo?" tanya Eki tertawa.

"Ya ambil istrinya Elvano aja," jawab Galih dengan santai.

"Gigi lo bakal gue pretelin detik itu juga, nyawa lo melayang detik itu juga," balas Elvano tajam.

Galih, Eki dan Zayden sontak tertawa.

"Ngeri, gue juga masih sayang nyawa kali, El. Mending nggak nikah daripada jadi pebinor," balas Galih di sela tawanya.

"Kalo kalian cari istri yang sholehah, maka itu bakal susah. Mending kalian cari istri yang benar-benar kalian cintai apa adanya. Nanti setelah menikah, baru kalian bentuk dia menjadi wanita yang sholehah, sholehot, ya, terserah mau kalian gimanain," usul Zayden.


"Bener kata Zayden. Untuk itu kita sebagai laki-laki harus punya bekal. Kita itu imam, kita itu penuntun. Kita bukan makmum yang ngikutin. Lo semua ambil pelajaran dari hidup gue. Gue menikah dengan bekal yang sangat minim. Beruntung Allah kasih Alara, coba kalo nggak?" sela Elvano.

"Hm, bener. Kita imam, bukan makmum!" tegas Zayden.

"Gue bakal belajar tobat, deh, biar nanti kalo nggak dapat yang sholehah, gue bisa bikin istri gue jadi sholehah," tutur Eki senyum-senyum tidak jelas.

"Niatnya aja udah keliru," sindir Zayden.

"Oppa Zay, mah, ngomong begitu karena dia udah punya bekal dan udah punya--"

"Ekhem!" deham Zayden memotong.

"Bekal apaan?" tanya Elvano kurang paham.

"Gitu-gitu dia udah pernah nyicip jadi santri walau gagal," jawab Galih tertawa.

"Jadi santri pun nggak menjamin bekalnya banyak." Zayden menjawab. "Dan yang namanya santri nggak ada istilah santri gagal, apalagi mantan santri," lanjutnya memberi penjelasan.

"Terus lo maunya istri yang kayak gimana, Zay?" tanya Eki.

"Gue nggak ada hak lagi untuk memilih."

Seketika semuanya terdiam.

"Bagaimana pun istri gue nanti, gue bakal terima."


≪•≪•◦ ❈ ◦•≫•≫

Zayden, laki-laki yang pembawaannya terlihat kalem itu sedang berada di toko buku. Hobinya yang suka membaca membuatnya tidak pernah absen mengunjungi toko buku di setiap hari minggu.

Sedari tadi ia berkeliling menelusuri rak-rak yang diisi oleh ratusan judul buku. Baik novel maupun buku motivasi dan lain sebagainya.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang