Janji

208 14 0
                                    


Bab 9

Janji

"Gimana menurut kamu, Kal?" tanya Amira dalam perjalanan pulang.

"Apanya yang gimana, Ma?"

"Kal, kamu tahu maksud Mama, kan," tegur Amira menegaskan. "Eca. Bagaimana menurutmu?"

Kala yang sedang berkonsentrasi penuh pada lalu lintas di depannya menoleh sekilas pada perempuan yang melahirkannya. Ditatap sedemikian rupa membuat Kala paham, Mama menunggu jawaban. Hembusan napas tak terelakkan. Sesungguhnya, Kala tidak mau membahasnya karena sudah bisa menduga akan bermuara pada perdebatan tiada ujung. Dia sungguh tak menyukai hal itu. Di satu sisi, dia menyayanginya. Di sisi lain, dia tak ingin berjanji saat tahu tidak bisa menepati.

"Biasa saja," jawab Kala pendek.

"Biasa saja?"

Kala mengangguk.

"Kala nggak suka, Ma," ujar Kala memutuskan berterus terang. Dia tak mau basa-basi karena ingin pembahasan ini cepat selesai. Kala lupa, Mama bukan orang yang mudah menyerah.

"Kamu nggak bisa memutuskan semuanya di pertemuan pertama, Kal. Bahkan Mama dan Papa yang dijodohkan oleh kakekmu dulu perlu waktu untuk saling mengenal."

"Lalu apa mau Mama?" Kala akhirnya menyerah.

"Kamu sudah janji, mau mengajaknya makan. Ajak ngobrol supaya kalian bisa saling mengenal. Nggak perlu berdua saja kok. Bisa sama Kayla misalnya. Atau ajak Adrian. Bisa, kan?" Amira berkata penuh harap. Dia tahu rasanya bertemu seseorang karena dijodohkan. Dia juga tahu rasanya bertemu seseorang yang tak disuka. Persis saat dulu dia bertemu Arga, suaminya. Amira yakin, Kala hanya perlu waktu, seperti dia dan Arga dulu.

"Ma," ucap Kala enggan. "Mana mungkin tiba-tiba ngajak makan tanpa alasan?"

"Gampang. Nanti kita pikirkan. Atau ... undang makan malam di rumah saja ya? Nanti Mama yang masak.

"Ya sudah, terserah Mama saja. Tapi jangan paksa Kala melanjutkan hubungan jika Kala tidak suka. Tidak semua yang dijodohkan berakhir bahagia, Ma."

"Demikian juga sebaliknya. Tidak semua yang memilih pasangan sendiri bisa langgeng," ucap Amira.

Telak. Kala merasa ucapan itu menusuk hati.

"Jodoh itu ... kita nggak tahu, Kal. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan berdoa. Mama nggak mau kamu kelamaan sendiri."

"Tenang, Ma. Masak nggak ada yang mau sama anak Mama ini?" goda Kala sambil tertawa.

Amira mencebik.

"Mana ada yang mau kalau kamu cuek sama perempuan, Kal," kata Amira mengomel.

Kala menyeringai. Meski benar adanya, Kala tidak ingin tergesa. Hatinya belum sembuh betul untuk menerima cinta yang baru. Kecuali, jika ada keajaiban.

"Ingat, janji harus ditepati," kata Amira lagi.

"Iya iya."

**

"Lagi?! Ini sudah kali kesekian kamu memecahkan perabot dapur, Sachi ...," keluh Gadis serupa lenguhan.

"Maaf, Kak ...."

Sachi tertunduk tepat di depan Gadis, supervisornya. Perempuan itu, yang merupakan atasan langsungnya, sudah beberapa kali menegurnya. Tetapi kecerobohan Sachi rupanya tak mudah luntur seperti daster yang dipakainya sehari-hari. Berulang kali pula Sachi berjanji tidak akan mengulangi, tetap saja terjadi peristiwa berikutnya. Baru seminggu Sachi bekerja, kecerobohannya masih terulang.

Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now