Wawancara Kerja

320 28 2
                                    


Bab 3

Wawancara Kerja

"Kenapa datang terlambat?" Pertanyaan itu langsung menyergap Sachi.

"Saya ... hampir ditabrak mobil, Pak. Maaf. Beneran, Pak, saya nggak bohong, saya sudah berangkat dari rumah pukul 06.00 tadi." Sachi menegaskan buru-buru. Dia harus berjuang supaya tidak tersingkir pada kesempatan pertama.

Lelaki berusia paruh baya itu menatap Sachi dari balik kacamatanya. Menahan senyum mendengar ucapan Sachi. Pandangannya tertuju pada lutut Sachi yang lecet-lecet. Lalu turun pada kedua kaki Sachi yang mengenakan sandal yang sangat dikenalnya. Pengalamannya bekerja selama bertahun-tahun membuatnya tak mudah tertipu. Kali ini dia yakin, gadis yang baru pertama kali bertemu dengannya itu berkata jujur.

"Kenapa kamu melamar di sini?"

"Saya butuh pekerjaan, Pak."

Sekali lagi, Pak Damar menilai ucapan tersebut jujur. Jawaban yang terkesan polos itu mendorongnya meneliti kembali surat lamaran yang sudah diterimanya. Sekolahnya tidak sampai lulus, setelahnya mengikuti ujian penyetaraan SMA.

"Kenapa kamu tidak sekolah sampai lulus?"

Kedua telapak tangan Sachi tanpa terasa berkeringat. Padahal ruangan itu semestinya terasa dingin karena AC. Mendengar pertanyaan itu mengingatkannya pada luka di hati. Sebuah peristiwa yang memaksanya menjadi lebih dewasa sebelum saatnya.

"Karena tidak ada biaya, Pak."

"Saya baca dari riwayat pekerjaanmu. Dalam waktu setahun sudah tiga kali pindah pekerjaan. Kenapa demikian?" Pak Damar menebak-nebak alasannya. Loyalitas karyawan sangat diperlukan. Dia tak akan menerima karyawan yang tidak bersungguh-sungguh. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain membuatnya mempertanyaan kesungguhan gadis di depannya. Selain karena niat, bisa juga karena tidak puas dengan gaji yang diberikan.

"Bukan karena pindah, Pak. Tetapi diberhentikan."

Mata lelaki itu semakin serius menatap Sachi. Alasan itu semakin menguatkan dugaannya.

"Bapak saya sakit sehingga saya sering izin untuk membawa beliau berobat. Tapi sekarang sudah sembuh, Pak. Saya janji akan bekerja sungguh-sungguh. Saya membutuhkan pekerjaan, Pak." Sachi berusaha meyakinkan Pak Damar.

Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dia bisa pura-pura tegar, tetapi sebenarnya tidak, jika mengingat kedua orangtuanya.

Pak Damar menimbang-nimbang. Lalu memutuskan memberi tanda centang pada lamarannya. Dari semua calon karyawan yang datang, dia menilai hanya Sachi dan seorang lagi yang menurutnya bisa menjadi kandidat kuat. Meski demikian, dia tak ingin gegabah. Setelah bertanya-tanya beberapa hal yang lain, akhirnya sesi wawancara itu pun berakhir.

"Saya mulai memberi kabar beberapa hari lagi. Jika tidak mendapat kabar, artinya kamu tidak diterima." Pak Damar tidak mau memberi harapan pada Sachi, meski sudah hampir bulat keputusannya.

"Baik, Pak."

"Sekarang, keluarlah."

Sachi mengangguk santun. Dia membalikkan tubuh, berjalan menuju pintu sambil terpincang-pincang. Sedari tadi berusaha mengabaikan, nyeri itu baru terasa ketika perasaan lega usai wawancara muncul.

"Tunggu sebentar," panggil Pak Damar tiba-tiba.

Sachi menoleh, menggigit bibir menahan sakit ada kakinya. Gara-gara bapak-bapak menyebalkan itu! Makinya dalam hati. Kalau sampai sesuatu terjadi pada kakinya, dia tak akan memaafkan lelaki yang membuatnya jadi begini. Dia lupa, lelaki itu sudah menwarkan bantuan tetapi Sachi menolaknya mentah-mentah.

"Ya, Pak?"

"Minta obat untuk luka pada Adhi. Dia ada di depan. Obati lukamu sebelum pulang. Jangan sampai infeksi." Belas kasihan membuat Pak Damar mengatakan hal itu. Anak itu mengingatkannya akan anaknya yang berusia belasan tahun, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dibandingkan Sachi.

"Terima kasih, Pak." Sachi kembali mengangguk.

**

Sesaat setelah keluar dari ruangan Pak Damar yang cukup dingin, Sachi duduk pada salah satu kursi di taman kecil, tepat di belakang pantry. Tak perlu waktu lama bagi Sachi dan Adhi untuk berkenalan. Mereka pun langsung akrab.

"Makasih pinjaman sandalnya, Kak."

"Panggil aku Adhi saja. Sepertinya kita seumuran."

"Iyakah?" Mata Sachi membulat. Wajah Adhi terlihat ramah dan penuh senyum.

Adhi yang berdiri menyandar di ambang pintu menganggukkan kepala. Dia sengaja berdiri di sana supaya bisa bicara dengan Sachi sekaligus mengawasi kafe. Sepagi ini belum banyak pengunjung yang datang sehingga dia masih bisa mengobrol sebentar.

"Aku lulus SMA dua tahun lalu. Baru mulai kuliah semester ini."

"Wah, hebat. Kerja sambil kuliah?" Suara Sachi menjadi lebih antusias. "Aku juga pingin kuliah. Tapi belum ada biaya. Makanya mau kerja dulu." Dia berkata sambil menarik napas.

"Kamu pasti bisa," ucap Adhi memberi semangat.

Suara lonceng di pintu memberi tanda bahwa seseorang masuk ke dalam kafe. Adhi menatap Sachi sekilas. Tugas memanggilnya.

"Ada yang datang. Aku tinggal ya. Pakai saja sandalku itu."

"Oh iya tinggal saja. Aku pulang sebentar lagi. Makasih banyak ya, Dhi." Sachi memutuskan sekalian berpamitan. Dia tak ingin mengganggu pekerjaan Adhi, meski sebenarnya masih ingin mengobrol lebih banyak. Baginya seseorang yang kuliah itu hebat.

Sachi berdiri, melihat sekilas pada Adhi yang sedang melayani pelanggan di depan kasir. Dia memberi tanda pada Adhi bahwa dia akan pergi. Adhi hanya tersenyum kecil pada Sachi.

Sesaat, mata Sachi tak sengaja tertuju pada sebuah foto peresmian kafe di dekat meja kasir. Dia mengernyit, mengingat-ingat sosok yang ada di dalam foto yang kelihatannya pernah dilihatnya. Sayangnya dia tak berhasil mengingat.

Setelah Sachi keluar dari kafe tersebut, Adhi baru menyesal karena lupa tidak meminta nomor ponselnya. Dia jarang tertarik pada perempuan pada pertemuan pertama. Tetapi Sachi berbeda. Gadis yang bersemangat itu, membuat Adhi ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Diam-diam, dia berharap Sachi yang akan diterima bekerja di kafe tersebut.

**

Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now