Kacau

376 23 0
                                    

Mata Sachi mengawasi jalanan yang dilewati. Dia tak boleh sampai melewatkan tempat wawancara kerja. Akhirnya, tempat yang dituju terlihat olehnya. Buru-buru dia mengomando supir angkot.

"Kiri ... kiri, Pak. Berhenti!"

Suara cempreng Sachi menarik perhatian seisi angkot. Mendengar teriakannya, supir langsung mengerem mendadak. Para penumpang merepet seketika karena kehilangan keseimbangan. Tubuh mereka saling mendorong ke arah depan.

"Eee ...."


"Maaf."

"Bisa pelan nggak sih, Pak ngeremnya?"

Serentak mereka protes. Namun, Sachi mengabaikan semuanya. Termasuk mengabaikan anggapan penumpang lain, dialah penyebab kekacauan di angkot pagi ini.

"Permisi, saya mau turun," kata Sachi sambil merunduk. Kebetulan mendapat tempat duduk di ujung membuatnya harus melewati penumpang lain. Tak dipedulikannya tatapan tak suka dari sebagian besar penumpang tersebut. Sejak masuk ke dalam angkot, tingkat Sachi sudah meresahkan. Bagaimana tidak? Gadis yang gradak-gruduk itu luar biasa berisik. Selain suara teriakannya juga tingkahnya yang membuat semua orang waspada karena khawatir jika terinjak olehnya.

Hanya seorang kelihatannya peduli padanya. Seorang ibu menatap Sachi sejak tadi, berulang kali urung bertanya karena khawatir pertanyaannya mempermalukan Sachi. Namun kali ini perasaan kasihan lebih mendominasi. Si ibu yang duduk dekat pintu angkot tak kuasa mendiamkannya. Tangannya mencekal lengan Sachi sesaat sebelum turun.

"Kak, itu ...." Pandangan mengarah tepat pada kaki Sachi. "Sepatunya yang sebelah mana?"

Sachi terperanjat. Dia benar-benar tidak menyadari hanya mengenakan sebelah sepatu saja dari tadi. Pikirannya tercurah pada keterlambatannya mendatangi undangan wawancara kerja. Duh, bagaimana ini? Tak mungkin pergi wawancara dengan penampilan seperti ini. Gara-gara bapak-bapak s*alan tadi semua kacau!

"Buruan turun, Kak! Nggak bisa berhenti lama-lama."

Suara supir yang semena-mena menyadarkan Sachi. Tanpa menghiraukan pandangan kasihan dari ibu yang berbaik hati mengingatkannya, Sachi keluar dari angkot. Perkara sepatu pikirkan nanti saja, putusnya.

Setelah membayar angkot, Sachi berdiri di pinggir jalan sambil menatap kedua kakinya. Masih untung dia tidak mengenakan kaus kaki yang bolong ujungnya. Sudah jam 08.00. Sachi menggigit bibir, menahan emosinya yang hampir meledak. Betapa menyedihkan! Hampir ditabrak mobil, sepatu hilang sebelah, dan terlambat wawancara kerja. Sesaat dia bingung. Mau lanjut ke tempat wawancara yang lokasinya sudah berada tepat di depan mata atau kembali ke rumah?

Sachi menggenggam kedua telapak tangannya kuat-kuat seakan dengan demikian maka niatnya pun menguat. Bukan Sachi namanya kalau menyerah begitu saja. Apapun yang terjadi, dia sudah berjanji pada kedua orang tuanya akan mendapatkan uang melalui jalan yang halal.

"Baiklah, Sachi. Sudah nasibmu begini. Daripada pulang dengan tangan hampa, lebih baik tetap menemui orang yang memberimu kesempatan bekerja. Setidaknya sudah menunujukkan niat baik untuk datang. Perkara diterima atau tidak urusan belakangan," tekad Sachi.

Kedua kakinya melangkah menuju Kafe Mata Hati, yang baru dibuka di daerah tersebut. Malam sebelumnya Sachi sudah mempelajari tentang kafe itu. Gadis cerdas itu menyimpulkan, sebuah perusahaan yang menaungi kafe tersebut secara masif mendirikan cabang di beberapa tempat di Jakarta. Sachi belum pernah merasakan makanan maupun minuman dari kafe itu. Namun hanya dengan membaca, Sachi tahu betapa viralnya kafe ini.

Di depan pintu kafe, Sachi berdiri menguatkan hati sejenak sebelum mendorong pintu kaca hingga terbuka. Udara dari AC yang dingin seketika membuat sebelah kakinya yang hanya terbungkus kaus kaki merasakan lantai terasa seperti menginjak es.

"Selamat pagi," sapanya pada seorang pelayan.

"Pagi." Pelayan lelaki itu menatap Sachi. Fokusnya terbagi saat melihat kaki Sachi.

"Saya mau ketemu Bapak Damar," kata Sachi menyebutkan nama manager kafe.

"Ada perlu apa?"

"Wawancara kerja."

Lelaki yang bernama Adhi itu melihat jam dinding sekilas. Sudah lewat dari jam yang ditentukan. Pak Damar sudah orang yang sangat tepat waktu. Wawancara sudah berjalan beberapa saat. Sudah tiga orang yang diwawancara. Semuanya datang tepat waktu. Adhi menimbang-nimbang, apakah akan menolaknya atau memintanya menunggu guliran. Keputusannya akan sangat mempengaruhi kelangsungannya bekerja mengingat Pak Damar tidak akan mentolerir kesalahannya begitu saja.

"Saya tahu saya terlambat datang. Tapi saya bisa menjelaskan semuanya. Saya mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Bisakah saya diberi kesempatan bertemu Pak Damar?" pinta Sachi dengan wajah memelas.

Terjawab sudah keraguan Adhi. Meskipun tegas, Pak Damar berhati lembut. Adhi baru bekerja beberapa bulan di tempat itu, seusia umur kafe yang sekarang membutuhkan pegawai lebih banyak, tetapi dia sudah mulai paham karakter Pak Damar. Apalagi Adhi melihat dengan mata kepala sendiri, lutut gadis di depannya itu terluka. Nalurinya mengatakan alasannya bukan mengada-ada.

"Tunggu." Adhi meninggalkan meja kasir dan masuk ke suatu ruang. Tak perlu menunggu lama, dia kembali menemui Sachi. Kali ini wajahnya tersenyum, tanpa keraguan. "Silakan masuk."

Senyum Sachi mengembang seketika.

"Terima kasih." Dia merapikan tas dan pakaiannya, menyibakkan rambut yang berantakan secara asal dan siap melangkah menuju ruangan yang ditunjukkan Adhi.

Gugup, Sachi menangkupkan kedua tangan, menggosokkannya berkali-kali. Sudah beberapa kali dia mengikuti wawancara kerja. Namun tetap saja, tidak dapat menghalau gelisah dan tak percaya diri. Begitu besar harapannya pada pekerjaan ini. Jika kali ini gagal, Sachi harus mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

"Sebentar ...," cegah Adhi. "Kalau kamu tidak keberatan, kupinjamkan sandal untukmu. Lepaskan saja sepatumu di sini." Adhi dengan cekatan mengambilkan sendal sederhana bermodel selop yang biasa dikenakan saat akan mengambil wudu.

"Makasih banyak," ucap Sachi riang. Sendal yang kebesaran itu pun berpindah tangan, langsung dipakai Sachi.

"Kebesaran dikit nggak apa kan? Daripada pakai sepatu sebelah doang." Adhi mencandainya.

Seketika ketegangan mencair. Mereka belum berkenalan, tetapi kebaikan hati Adhi membuat Sachi merasa lebih siap menghadapi apapun di dalam ruang wawancara. Sachi menggeleng, menegaskan dia menerima pinjaman sendal itu secara ikhlas.

"Jangan membuat Pak Damar menunggu lama. Beliau sangat disiplin, tetapi jika alasannya tepat aku yakin beliau bisa menerimanya. Semoga berhasil," kata Adhi lagi.

Sachi melebarkan senyum, lalu dengan kepercayaan diri yang bertambah masuk ke ruangan yang ditunjukkan Adhi. Dia sibuk menebak-nebak, seperti apa sosok Pak Damar?

**

Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now