Sebuah Permintaan

251 15 0
                                    

Di KBM App sudah TAMAT ya. Cari judulnya di sana atau cari akunku, username: fitachakra. Nama profile : Fita Ch. Jangan lupa subs dan vote ya. 

Di Karyakarsa masih ON GOING.

**

Bab 7

Sebuah Permintaan

"Beneran?" Amira menatap mata anak sulungnya dalam-dalam, mencari kejujuran di dalamnya. Tiga puluh tahun menjadi seorang ibu cukup membuatnya terlatih mengetahui mana hal yang benar dan mana yang bohong. Kali ini, dia yakin ada yang disembunyikan Kala darinya.

Kala mengangguk, tak berani menatap mata mamanya. Cukup dewasa usianya tetap membuatnya bak anak mama yang tak ingin membuatnya terbebani pikiran. Apalagi oleh perasaan yang seharusnya sudah dia buang jauh-jauh dari dulu. Perasaan marah dan kesal pada seorang gadis yang meninggalkannya untuk seorang lelaki lain. Dalam hati, Kala merasa kesal pada diri sendiri yang begitu lemah, terjerat pesona gadis itu.

"Ada apa, Ma? Kata Kayla, Mama mau bilang sesuatu," ujar Kala mengalihkan pembicaraan.

"Eh, kata siapa? Aku bilang Mas Kal dipanggil Mama," ralat Kayla. "Mas Kal salah dengar."

"Oh ... salah ya." Kala tertawa kecil. Pikirannya sedang tidak fokus, tetapi tentu saja dia tak mau menampakkannya.

"Dih, mikirin apa sih, Mas? Segitunya, deh."

"Sudah ... sudah ... kalian ini. Kayak anak kecil aja, berantem melulu."

Kala melebarkan senyum, sementara Kayla mencebik. Amira menghela napas lalu tersenyum kecil menangapi tingkah kedua anaknya. Melalui tatapan matanya dia meminta piring Kala didekatkan agar dia bisa mengambilkan sayur bayam kesukaan Kala. Hingga sebesar itu anak-anaknya, Amira masih telaten meladeni mereka di saat makan. Sempat merasa kehilangan Kala saat dia berkeras menempuh pendidikan di luar, membuat Amira tak ingin kehilangan momen bersama Kala. Dia anak istimewa, lahir di saat mamanya berjuang menuntaskan kuliahnya. Tak heran jika Kala pun tumbuh sebagai anak yang memiliki semangat yang sama dengannya.

"Sebenarnya sih memang ada yang ingin Mama katakan, Kal. Mama sudah kepikiran beberapa hari ini, hanya saja belum ada kesempatan ngomong sama kamu. Kamu lagi sibuk banget ya?"

"Biasa, Ma. Kala lagi mau persiapan pembukaan cabang baru. Jadwal ngisi acara juga lagi banyak-banyaknya." Kala menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Sekali waktu luangkan waktu buat diri sendirilah, Kal. Jangan kerja terus," tegur Amira pada putranya.

"Maksud Mama, buruan cari istri, Mas," sahut Kayla.

"Kay," tegur Amira. Di saat dia sedang berusaha mencari cara paling halus untuk meluluhkan hati Kala, justru Kayla yang ceplas-ceplos memotong pembicaraan. Meski benar adanya yang dikatakan Kayla, tetapi bukan begitu caranya.

"Maaf, Ma. Abis kelamaan Mama ngomongnya." Kayla meringis.

Kala memandang keduanya bergantian, mencium gelagat buruk dari sikap Mama dan adiknya.

"Mama ingin kamu segera mencari calon isri, Kal. Usiamu sudah tak muda lagi. Mama dan Papa juga sudah semakin tua. Teman-teman Mama bahkan banyak yang sudah nimang cucu," kata Amira akhirnya, merasa sudah tak ada gunanya bicara berputar-putar dulu.

"Cari istri kan nggak semudah itu, Ma. Kala nggak mau salah pilih."

"Kalau begitu, Mama saja yang carikan, gimana? Mama nggak akan salah pilih," sahut Amira cepat seolah tak memberi kesempatan Kala mencari alasan.

"Yang nikah Mama atau aku? Kok Mama bisa yakin itu nggak akan salah pilih," protes Kala.

"Kamu yang pilih sendiri juga bisa salah kok. Buktinya dulu ...."

"Ma ...," sergah Kala, tak ingin mamanya mengungkit peristiwa dulu. Terlalu pedih hatinya mengingat.

"Oke oke, maaf." Amira mengambil jeda sejenak, memilih kata yang lebih tepat untuk meluluhkan hati Kala. "Begini, Mama mau kenalin kamu sama anak teman Mama."

"Kenalan saja, kan?" ulang Kala mengeaskan. Dia tak mau terbebani dengan permintaan Mama. Jangan-jangan, ada udang di balik rempeyek, alias ada sesuatu setelahnya.

"Ehm ...." Amira merasa terjebak dengan pertanyaan Kala. Lelaki cerdas itu dari kecil pandai bermain kata, persis seperti papanya. "Ajak dia makan? Mau ya? Please, Kal. Gimana kalian bisa saling mengenal kalau nggak ngobrol dulu," tawar Amira terdengar seperti saat dia membujuk Kala makan saat kecil.

Kala menarik napas. Ini yang ditakutkan. Mamanya tak akan menyerah sampai dia mendapatkan pendamping. Di sisi lain, dia tak tega menolak permintaan Mama setelah berulang kali menghindar dengan berbagai alasan. Kali ini, alasan apa lagi yang bisa dipakai?

"Deal. Hanya itu ya, Ma."

"Ya," jawab Amira sambil tersenyum. Hanya itu saja, untuk kali ini, batinnya. "Mama yakin kamu akan cocok dengannya. Dia cantik, manis, dan cerdas. Serasi denganmu, Kal."

Kala tersenyum tipis. Meski mamanya bilang begitu, dia meragukan hatinya. Sejak dikhianati, dia sulit percaya pada perempuan. Pun, hatinya yang terlanjur retak sepertinya belum sembuh. Jika bukan karena mamanya yang memohon, dia tak akan mau.

**

Di tempat lain, dalam sebuah rumah kontrakan sederhana seorang gadis sedang menerima telepon.

"Jadi saya diterima bekerja, Pak? Iya, baik saya akan datang besok. Terima kasih, Pak. Terima kasih."

Sachi menutup telepon sesaat setelah pembicaraan selesai. Perasaan bahagia dan lega membuncah di dadanya. Berulang-ulang dia mengucap syukur.

"Bu, Sachi diterima kerja!" teriak Sachi memanggil ibunya. "Bu!" Sachi berlari mencari ibunya.

"Apaan teriak-teriak?" Seorang perempuan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah yang hanya sepetak itu. Kedua tangannya penuh busa sabun menandakan kegiatannya yang tertunda karena menanggapi Sachi. Perempuan itu bernama Santi, ibu Sachi. Dasternya yang lusuh basah di ujung bawah. Jika dulu ia bahkan hampir tak pernah menyentuh mesin cuci. Sejak mereka kehilangan rumah dan segala isinya tangannya mau tak mau bersahabat dengan deterjen.

"Sachi besok masuk kerja, Bu." Tak peduli kedua tangan ibunya penuh busa deterjen, Sachi memeluknya erat.

"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah." Bulir-bulir air mata bergulir di pipinya yang tak lagi mulus. Bukan karena tak sempat melakukan perawatan. Tetapi memang tak ada biaya untuk itu. Hidup mereka sekarang sangat sederhana.

"Berkat doa Ibu dan Ayah." Sachi mengingatkan.

"Tentu, Nak. Tentu Ibu akan selalu mendoakan. Kamu nggak usah pikirkan soal Ibu dan Ayah. Biar kami yang bekerja mencari nafkah. Kamu kejar impianmu saja. Kamu masih ingin sekolah kan?"

Sachi mengangguk kuat-kuat. Tekadnya masih sama sejak dulu. Apapun yang terjadi, dia ingin kuliah.

"Sachi akan menabung, Bu. Mudah-mudahan uanganya segera cukup untuk Sachi kuliah." Sachi sudah cermat memperhitungkan persiapannya. Meski sempat putus sekolah, Sachi sudah mendapatkan ijazah SMA dari ujian persamaan. Dia juga sudah mempelajari jurusan yang cocok untuknya. Yang paling penting, harus terjangkau biayanya. Meski untuk itu dia harus kuliah sambil bekerja, tak mengapa.

"Insya Allah, Nak." Santi mengelus rambut putrinya. Menatap wajahnya begitu dekat membuatnya menyadari, putri satu-satunya itu rupanya telah dipaksa dewasa oleh keadaan. Terbayang dulu dia dan suaminya selalu memanjakannya. Hidupnya tak pernah susah sejak kecil. Namun badai datang begitu cepat merengut semua kebahagiaannya.

"Sachi harus siapkan dulu semua yang akan Sachi pakai besok." Tiba-tiba dia melepaskan pelukan. "Ehm ...."

"Kenapa?"

"Sepatu Sachi ...." Dia baru ingat tak punya sepatu yang pantas untuk kerja. Hingga sekarang dia masih sering meruntuki om-om yang mengacaukan hatinya waktu itu. Meski hanya sepatu, tidak demikian baginya. Perlu merogoh kocek untuk mendapatkan yang baru. Kalau saja lelaki itu ada di hadapannya, sudah pasti dia akan mengomelinya. Tak peduli siapapun dia.

**

Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now