Dia, dari Masa Lalu Kala

285 17 0
                                    


Bab 6

Dia, dari Masa Lalu Kala

"Kala ... ehm, kenalkan Raja," kata Sheilla akhirnya. "Raja, kenalkan temanku ... Kala."

Terlihat jelas tatapan Sheilla yang memuja lelaki bernama Raja itu. Tanpa perlu diperkenalkan, Kala sesungguhnya sudah tahu tentangnya, meski Raja mungkin tak mengenalnya dan baru kali ini mereka bertemu wajah. Sejak Kala berada di berada di lar negeri, dia sudah mendengar nama Raja dari beberapa orang terdekatnya, termasuk Kayla, adiknya. Sejak saat itu pula, keinginan untuk menampar wajah lelaki itu sangat menggebu. Hanya karena jarak, Kala tidak melakukannya.

"Hai." Tangan Raja terulur menunggu Kala melakukan hal yang sama. "Kita belum pernah ketemu kan? Atau aku yang lupa?"

"Sayang ... aku sudah pernah cerita padamu, kan? Pasti kamu nggak inget, deh," tegur Sheilla setengah merajuk. Dengan manja, dia menatap Raja sekaligus membenamkan kepalanya pada pelukan lelaki itu. Rambut panjangnya yang berwarna kecokelatan itu tergerai sampai ke punggung, menampakkan kecantikan yang elegan. Tampak sempurna membingkai wajah tirusnya.

Kala buru-buru berdiri, ingin segera menuntaskan sesi perkenalan yang memuakkan itu. Entah apa yang diceritakan Sheilla tentangnya pada Raja. Bahwa dia telah berhasil mengalahkannya dalam mendapatkan hati Sheilla, mungkin. Benci sekali Kala mengakui bahwa Sheilla tampak serasi bersisian dengan Raja.

Kala mendadak tampak aneh di mata Adrian. Senyum dan antusias Kala saat bertemu perempuan bernama Sheilla itu mendadak lenyap. Adrian bisa mencium ketidaknyamanan dalam suasana tersebut.

"Tidak apa-apa, Sheilla." Kala berusaha menetralisir suasana. Disodorkan tangannya pada Raja, semata karena ingin menyudahi perbincangan. "Maaf, aku harus segera pergi. Kurasa kalian juga sedang sibuk. Aku tak mau mengganggu."

"Ah, iya ... aku baru ingat. Kala, apa kabar?" Tiba-tiba Raja berkata. Dengan ekpresif dia merangkul pundak Sheilla di hadapan Kala, mengeratkan pelukan.

Kedua sudut bibir Kala tertarik membentuk senyum yang aneh. Tak berusaha menjawab pertanyaan Raja dan rasanya memang tak perlu. Jika saat itu dia harus menemui klien paling sulit ditaklukan sekalipun, dia lebih memilih menemuinya ketimbang terjebak di sini.

Jengah rasanya Kala terpaksa menyaksikan kemesraan pasangan itu di hadapannya. Jika bukan karena mempertahankan kehormatannya, mungkin tangannya sudah mampir di wajah lelaki tersebut untuk membuat jejak di sana. Sudah beberapa tahun berlalu tapi masih terasa sakit hatinya mengingat tunangannya meninggalkannya demi lelaki itu. Ya, Sheilla yang dikira akan setia padanya nyatanya tergoda pada Raja. Dia yang namanya berusaha dilepaskannya dari hati dengan susah payah, tetapi tak mau pergi.

"Maaf, aku harus buru-buru," ujar Kala sambil melihat jam tangan yang melilit di pergelangan tangannya. "Kita pergi sekarang, Adrian," titahnya membuat Adrian terburu membereskan barang-barangnya.

"Silakan. Kami juga ada janji pemotretan," ujar Raja.

Kala mengangguk, menatap sekilas keduanya yang mengenakan pakaian berwarna senada. Tak heran, seperti yang sudah diketahuinya, Raja seorang public figure. Pekerjaannya sebagai artis membuat kata pemotretan terasa wajar di telinga Kala.

"Kamu nggak lupa memasukkan Kala dalam daftar undangan kan, Sayang?" Pertanyaan Raja pada Sheilla seketika membuat jantung Kala berdentam.

"I ... iya, Sayang," terbata Sheilla menyahut.

"Jangan sampai nggak datang ya, Kal ke pernikahan kami." Santai sekali nada suara Raja, berkebalikan dengan suasana hati Kala yang mendadak riuh disapu angin ribut.

Sambil menggeram, Kala berucap, "Selamat sore. Ayo, Adrian nanti kita terlambat ke meeting berikutnya."

"Ba ... baik, Pak." Masih terherahn-heran, Adrian berusaha mengingat meeting apa lagi yang akan mereka hadiri? Seingatnya tak ada.

Langkah cepat Kalandra membuat Adrian bergegas mengimbangi. Tak perlu lama-lama berpikir, kecerdasannya membuat sebuah kesimpulan tentang pertemuan tadi.

Perempuan itu, seseorang yang berarti di masa lalu Kalandra.

**

"Mas Kal, dipanggil Mama," kata Kayla pada Kalandra, kakaknya.

"Ada apa?" Pemuda berusia 30 tahun itu sebenarnya sedang malas berbasa-basi. Kepada mamanya, dia paling tak tega membantah. Sekian tahun bersekolah di luar negeri pun tak mengubah sifatnya yang satu itu.

"Entah. Makan malam palingan," ujar Kayla cuek. Dipandanginya kakaknya. Sekilas pun dia langsung tahu, ada yang tak beres. "Kenapa muka Kakak?"

"Hah? Kenapa memangnya?" Kalandra balik bertanya. Perasaan, wajahnya baik-baik saja. Masih tetap tampan rupawan meski usianya bertambah. Kala, demikian dia dipanggil, bukan orang yang malas melakukan perawatan. Buru-buru, dia berkaca di cermin.

Suara Kayla terkikik di belakangnya membuatnya tersadar bahwa dia telah dipermainkan. Kakaknya terkadang terlalu serius menanggapi candaannya. Karena itulah Kayla suka menggoda.

"Awas, ya!" ancamnya pada adik semata wayangnya itu. Usia mereka terpaut cukup jauh. Kayla baru lahir saat Kala berusia 7 tahun karena kedua orangtuanya memang berniat menunda kehamilan yang kedua. Mama sedang menyelesaikan kuliahnya saat Kala masih bayi. Sedangkan Papa, baru memulai pendidikan spesialiasi pediatri. Mereka membutuhkan konsentrasi penuh pada pendidikannya. Meski demikian, Kala dan Kayla terbilang akrab. Bahkan Kayla sekarang sudah bisa diberi tugas memonitor kafe-kafe yang milik Kala dan Ical, sahabatnya.

"Senyum dulu. Wajah Kakak mengerikan. Nanti Mama bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Kakak hari ini. Aku saja tahu, ada yang tak beres."

"Memangnya kelihatan?"

Kayla mengangguk. Gadis yang sedang menyelesaikan tahap akhir kuliahnya itu kali ini serius menjawab.

"Habis marah sama siapa? Kasihan sekali karyawanmu jadi sasaran melulu," tebak Kayla.

"Sok tahu kamu, Kay. Sudah, keluar sana. Aku mau ketemu Mama." Kala mengusir Kayla dari kamarnya. Sebagian tebakan adiknya itu benar. Dia memang sedang kesal. Suasananya hatinya porak poranda setelah dihantam topan badai sore tadi. Bukan pada karyawan, melainkan pada pasangan yang sepertinya sengaja memancing kemarahannya. Patah hatinya rupanya belum sembuh benar. Dia hanya mengubur lukanya dalam-dalam, bukan benar-benar sembuh.

Kayla mengangkat bahu lalu keluar kamar menuju ruang makan. Mau tak mau Kala mengikuti Kayla. Setelah kembali ke rumah orangtuanya tiga tahun lalu, dia harus mengikuti rutinitas di rumah ini. Tak bisa seenaknya seperti saat dia kuliah di Inggris.

"Makan, Kal," ujar Amira, mamanya saat Kalandra menghampiri.

"Ya, Ma." Kala menarik kursi.

Kayla duduk di samping Amira. Kursi Arga, papanya masih kosong. Sepertinya dia belum pulang dari praktik. Di meja makan sudah terhidang berbagai macam masakan yang dibuat Amira. Dia memang tidak selalu memasak untuk mereka. Tetapi jika anak-anaknya di rumah, dia selalu mengusahakan memasak di sela kesibukannya menulis.

"Kita makan dulu saja. Papa masih lama," putus Amira. Diperhatikannya wajah Kalandra. Seketika, dia tahu ada yang tak beres. Sambil menoleh pada Kayla, perempuan itu mencari jawaban dari putrinya. Namun Kayla hanya mengangkat bahu.

Amira memutuskan mengorek langsung dari Kalandra. Putranya itu tak seperti adiknya yang lebih terbuka. Bisa saja dia membiarkan Kalandra menyimpan masalahnya sendiri. Namun tidak kali ini. Dia ingin menyampaikan seustau yang penting. Tidak bisa dikatakannya sekarang pada saat suasana hati Kalandra sedang kurang bagus.

"Kenapa kamu, Kal?"

"Heh? Apa, Ma?"

"Wajahmu. Seperti mau makan orang saja," sahut Amira kalem.

Kalandra menunduk, meletakkan peralatan makan yang sudah dipegangnya. Lelaki dewasa itu kembali bagai anak kecil yang ketahuan berbohong saat berhadapan dengan ibundanya. Pelan-pelan, dia mengurai kekesalan. Tak ingin khawatir membuat sosok perempuan yang disayanginya itu bersedih seperti yang dulu pernah terjadi.

"Tidak ada apa-apa, Ma. Masalah biasa."

**

Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now