prolog

113K 8.9K 253
                                    

Kepulan asap yang berasal dari dua cangkir di atas meja, menjadi awal tampilan pada suatu ruangan.

Sinar matahari, menyorot menembus kaca transparan, memberikan kehangatan pada kedua orang yang duduk di sana.

Dua bangku yang diisi oleh pria dan wanita, yang diikat oleh janji saklar dan sumpah pernikahan, saling berhadapan dengan sorot mata yang berbeda. 

Di samping wanita itu, terdapat seorang gadis yang mengenakan pakaian khas pelayan, berdiri kaku sembari menoel-noel lengan majikannya.

Raut pelayan itu—Valerie. Gugup seakan cemas akan sesuatu.

"Nona.... Psttt.... Saya mohon urungkan niat anda." Bisik nya lirih, terdengar kalut.

"Ck! Diam! Kau mau ku tinggalkan di sini?" Ancam wanita yang menjelma sebagai majikannya itu, tak kalah pelan.

Lantas Valerie menggeleng ribut. Gadis itu menunduk seraya memelintir ujung celemek hitam nya.

Tentu saja dia tak mau ditinggal di tempat mencengkram kan ini. Valerie sudah mendedikasikan hidupnya pada sang nyonya. Terlebih, mengingat sifat dan sikap nyonya nya yang berubah sepenuhnya, sejak insiden tiga bulan yang lalu.

"Aeris." Suara bariton milik pria yang berada didepannya, membuat Aeris tersentak kaget.

Mengangkat sedikit dagunya, wajah tampan sang suami, terpampang jelas di hadapannya.

Surai hitam legamnya, seiras dengan kedua netra tajam itu. Wajah yang selalu berekspresi datar, namun tak urung memiliki ketampanan yang mampu membuat siapa saja terkesima.

Kulit putih tanpa cacat sedikitpun, bahkan proporsi tubuh tegap dan berotot yang jauh lebih besar darinya, mampu membuat Gavril—suaminya, masih saja diincar oleh gadis-gadis bangsawan muda. Padahal, mereka sudah tau jika pria tampan itu sudah menikah. Mungkin, Dewa sedang tersenyum saat menciptakan manusia yang satu ini.

Ah, ralat! Bukan Dewa, namun author. Sang penulis!

"Aeris." Lagi, suara berat tetapi lembut itu, terasa menggelitik ketika menyapa telinga Aeris.

Termangu sesaat karena terlampau mengagumi pahlawan pria di dunia dalam buku, membuat Aeris menggeleng pelan.

"Yang mulia, ada yang ingin kukatakan."

"Hm?" Bertopang dagu, Gavril mengulas seutas senyum di bibir merah mudanya. Tatapan hangat, dia tujukan pada sang istri.

"Ah, anda masih mengingat janji, dua bulan yang lalu, bukan?"

Sebelah alisnya terangkat sebelum kembali berdehem, mengiyakan. Sekalipun, pandangannya tak pernah lepas dari wanita yang menjadi istrinya itu.

"Anda mengatakan akan mengabulkan satu permintaan, ku."

"Ya, ap-"

"Mari bercerai."

Udara terasa membeku begitu saja, seakan waktu ikut berhenti guna memperjelas suasana. kedua manik hitam pekat Gavril, melebar karena terkejut. Pria yang jarang menunjukkan ekspresi itu, untuk pertama kalinya terkesiap tak percaya.

"Maksud mu?"

Aeris berdiri, merasa kesal akan kepura-puraan protagonis pria didepannya. Ayolah, pasti Gavril mengerti maksud perkataannya. Tak mungkin otaknya tiba-tiba menjadi lambat hanya karena sering Aeris pukul, kan?

"Saya sudah menyiapkan dan menandatangani dokumen perceraian. Hanya tinggal menunggu giliran anda." Ucapnya acuh tak acuh, seakan tak menyadari ekspresi muka Gavril yang mengeras.

I became the wife of the male lead {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang