42. You Not Ice Girl

1 0 0
                                    

Tasya menyobek pamflet yang berisi informasi tentang pameran seni. Baginya saat ini bermain dengan kuas adalah sesuatu hal yang sangat membosankan. Bahkan Tasya berpikir untuk tidak melukis kembali.  Tasya membuang pamflet tersebut, menarik nafasnya dalam-dalam lalu kembali ke rumah kaca untuk sekedar menikmati udara segar.

" Ikut gue Sya. Lo gak boleh sedih lagi kaya gini," kata seseorang dengan nada suara yang sangat familiar di sepasang indra pendengarannya.

Tasya mendongakam kepalanya menatap seseorang yang tepat berada di depannya saat ini. Seluruh perasaannya terasa hampa, bahkan Tasya tidak tau harus melakukan apa. Bahkan saat ini bertemu dengan siapapun membuatnya ingin segera lenyap dari bumi. Tasya sangat lelah dengan semua drama yang terjadi pada hidupnya.

" Gue pengen sendiri," lirih Tasya

" Sampek kapan?" tanya Danesh membuat Tasya semakin bingung.

" Seratus tahun lagi," balas Tasya singkat.

" Seratus tahun bukanlah waktu yang singkat. Lo udah mati," sarkas Danesh

" Jadi tanah."

" Kembali lagi ke tanah."

" Sekarang gue udah gila."

" Lo masih waras."

" Gue gila lama-lama dengerin omongan lo yang ngawur."

" Nanti gue perbaiki lagi. Hidup seratus tahun lagi bersama seseorang yang spesial."

" Gak ada."

" Di depan lo saat ini."

" Lo?"

" Menurut lo siapa lagi?"

" Gak denger gue pohon?"

" Pohon bisa mendengar Sya. Lo gak tau kalau pohon punya nyayian melodi?"

" Terserah lo Nesh, gue capek."

" Kalau gitu ikut gue biar gak capek?"

" Saturnus?"

" Lo mau ke saturnus?"

" Kalau sama lo, gak bakalan mau."

" Gue harus gimana buat yakini lo kalau lo masih bisa gapai kembali harapan lo?"

" Sederhana, matikan ketakutan gue sendiri, tapi gue gak bisa ."

" Kalu gitu gue bakalan bantu."

" Semoga berhasil," lirih Tasya.

" Kasih kesempatan gue buat nyoba hapus ketakutan lo boleh?"

****

" Saturnus."

" Lucu nggak helmnya? gue sengaja nyipin helm lucu kaya gini biar lo suka."

" Biasa aja," balas Tasya sangat singkat," gue gak peduli."

" Gue udah bisa nebak jawaban lo. Pasti biasa aja."

"Lo gak capek?" pancing Tasya

" Capek?" bingung Danesh.

" Iya, lo gak capek selalu yakinin gue kalau harapan masih ada?"

" Selagi harapan masih hidup, kenapa nggak?"

" Harapan gue aja nggak jelas, percuma juga Nesh lo berusaha bantu gue. Lo gak bakalan bisa Nesh. Cuma buang-buang waktu lo aja yang katanya sangat berharga."

" Tapi lukisan udah bikin lo ngerasa punya kehidupan Sya."

" Cuma sesaat Nesh. Besok juga ilang lagi. Kehidupan gue juga cuma ada hitam putih sana abu-abu."

Kanvas Terakhir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang