Bukan Sepatu Kaca

912 36 2
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa follow ya. Vote dan komennya juga deh. Cerbung ini ada di KBM App dan Karyakarsa. Silakan cari nama penulis Fita Ch atau judul cerbungnya.

Follow juga IG 

**

Bab 1

Bukan Sepatu Kaca

"Aaa!"

Suara rem berdecit berpadu dengan jeritan di jalanan ibukota yang sibuk pagi ini. Kalandra yang sedang terburu-buru mengejar meeting pukul 08.00 pagi di pusat kota, terpaksa menghentikan laju mobilnya. Lelaki tampan yang sudah rapi mengenakan kemeja berwarna putih bergaris itu segera membuka pintu tanpa pikir panjang. Kalau sampai orang yang terjatuh tepat di depan mobilnya itu terluka, bisa panjang urusannya. Cemas sesaat menguasai dirinya.

Seorang gadis terduduk di jalanan, mengelus lututnya yang lecet karena beradu dengan aspal. Dia meniup-niup lututnya, mengurangi pedih yang terasa. Sebelah sepatunya terlepas, tasnya tergeletak di sampingnya.

Sesaat, Kalandra menarik napas lega. Ternyata tak separah yang dibayangkan. Rupanya dia hanya terkejut sehingga terjatuh. Kalandra cukup yakin, mobilnya tak mengenai tubuh gadis itu sedikitpun.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Kalandra menghampiri.

Pertanyaan konyol itu langsung membuat gadis itu meradang. Dia menyibakkan rambut sepanjang bahu yang membuat wajahnya tersembunyi dari tatapan Kalandra. Begitu dia mengangkat wajah, barulah Kalandra bisa melihat jelas ekspresi marahnya. Matanya melotot, sempurna memperlihatkan betapa kesalnya dia. Kalandra berusaha mengabaikan kemarahan gadis itu. Tak mengelak dari kesalahan, itu yang dirasa terbaik saat ini.

"Bapak nggak lihat?! Kaki saya lecet. Mentang-mentang bawa mobil, seenaknya sendiri. Memangnya jalan milik kamu saja?" Gadis itu merapikan bajunya dan menepuk-nepuknya. Debu jalanan membuat rok hitam dan kemeja putih yang dikenakannya kotor. Buru-buru, tangannya meraih barang-barangnya yang berhamburan di jalan. Tak sempat meneliti semuanya, dia asal menjejalkan ke dalam tasnya.

"Bukan begitu. Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Apa perlu saya antar ke ...."

"Tidak usah. Saya buru-buru."

"Tapi kakiku harus diobati, setidaknya diber ...."

"Biarkan saya membantumu," kata Kalandra berjongkok di sisi gadis itu. Wajah panik gadis itu ternyata lucu juga.

"Tidak perlu, Pak." Gadis itu berkeras. Matanya melirik judes pada Kalandra, yang entah mengapa justru membuat pemuda terpaksa menahan tawa. Benar-benar menggemaskan.

"Dengar ...," sahut Kalandra, seraya berdiri mengikuti gerakan gadis itu.

Belum selesai Kalandra berkata, gadis itu berteriak, membuat Kalandra kembali terlonjak kaget. Entah apa yang dimakan gadis itu hingga teriakannya mengalahkan tiupan peluit. Tubuhnya mungil, siapa yang menyangka suaranya memekakkan telinga.

"Ya ampun, aku bisa terlambat! Wawancara jam 08.00. Duh! Pak ... pak ... berhenti!" Tanpa menghiraukan perkataan Kalandra, gadis itu buru-buru menyetop angkot yang melintas. Dia berjalan terpincang-pincang, meninggalkan Kalandra yang sudah membuatnya tertahan di tempat itu. Lalu menghilang masuk ke dalam angkot itu setelah menyelempangkan tasnya.

"Hei! Tunggu!"

Panggilan Kalandra pada gadis itu terasa sia-sia di antara deru kendaraan yang berpacu serba cepat. Lengkingan klakson secara beruntun di belakang mobilnya memaksa Kalandra segera menyingkir. Tepat ketika dia memutuskan akan kembali ke dalam mobil dan melupakan yang terjadi, matanya menangkap sebuah sepatu sederhana berwarna hitam tergeletak di jalanan dan sebuah buku catatan kecil. Tanpa banyak berpikir, dibawanya masuk kedua benda itu.

Kalandra memutuskan menepikan mobil sejenak. Kedua benda yang terpisah dengan pemiliknya itu mestinya bisa saja dia biarkan. Tetapi nalurinya mengatakan gadis itu membutuhkannya. Apalagi saat melihatnya melangkah dengan kaki terpincang. Siapa tahu kakinya terkilir, atau butuh perawatan lebih lanjut.

Ada sedikit rasa bersalah karena membiarkannya pergi. Gadis itu mungkin usianya masih di bawah adik kandungnya, Kayla. Dalam sekali penglihatan Kalandra tahu, gadis sederhana itu bukan berasal dari keluarga berada. Sepatu itu bahkan tidak bisa dibilang layak pakai. Berwarna hitam, dengan model sederhana dan tampak lusuh. Jelas bukan sepatu kaca Cinderella.

Mungkin di dalam buku itu ada petunjuk, pikir Kalandra. Dia berniat mengembalikan pada pemiliknya apabila mendapatkan alamat atau kontaknya. Namun baru saja tangannya akan membuka buku itu, dering ponsel memaksanya berhenti. Panggilan dari kantornya.

"Ya. Ada apa?"

"Bapak sampai mana? Sudah ditunggu di ruang meeting." Suara Mila, sekretarisnya terdengar cemas di ujung telepon.

"Lima belas menit lagi sampai. Sampaikan maaf, ada urusan mendadak," ucap Kalandra singkat.

"Ya, Pak." Terdengar suara Mila menyahut. Dia sengaja tidak menanyakan urusan Kalandra, karena konsentrasinya tersita pada tanggung jawabnya memberi alasan pada orang-orang yang menunggu pimpinannya tersebut. Kalandra biasanya tepat waktu. Jika dia terlambat, sudah pasti ada alasan penting.

"Ehm ... Mila," panggil Kalandra tiba-tibe tercetus ide. "Sekalian bilang pada Adrian. Minta dia menemui setelah meeting. Dia seharusnya datang siang nanti untuk mengantar saya ke acara wirausaha. Tapi ... saya membutuhkan dia lebih awal. Minta dia segera ke kantor."

"Baik, Pak. Ada lagi yang lain?"

"Tidak. Terima kasih, Mila."

Bersamaan dengan terputusnya sambungan telepon, Kalandra meletakkan ponselnya. Dia melirik kedua benda yang dibawa masuk ke dalam mobilnya setelah ditinggalkan pemiliknya tanpa sengaja. Antara kasihan dan geli, dia membayangkan reaksi gadis itu saat menyadari hanya mengenakan sebelah sepatu, sedangkan yang sebelah hanya berbalut kaus kaki. Jika itu teradi pada Kayla, adik kecilnya, sudah pasti Kalandra akan menertawainya tanpa henti.

Lelaki berusia awal 30-an itu memutuskan segera pergi setelah punya rencana terhadap kedua benda itu. Hatinya sedikit lega mengetahui Adrian, asistennya akan membantunya mengembalikan sepatu dan catatan itu entah bagaimana caranya. Adrian sudah hampir tiga tahun mendampinginya. Dia telah terbiasa dengan perintah yang terkadang kelewat ajaib tetapi nyatanya dia berhasil menyelesaikannya tanpa cela.

Di jalanan yang cukup padat, mobil Kalandra melaju pelan. Dia masih lebih suka menyetir sendiri dan melakukan semuanya sendiri. Terbiasa mandiri saat bersekolah di luar negeri membuatnya tak masalah melakoni kesehariannya, tanpa supir. Jika memerlukan supir pun dia bisa meminta bantuan supir pribadi, karena tidak setiap waktu dia membutuhkan bantuan. Saat memutuskan mempekerjakan Adrian pun dia perlu berpikir berkali-kali, sampai akhirnya dia menyerah karena kesibukannya terlalu banyak.

Saat matanya sibuk memperhatikan lalu lintas, sebuah papan iklan besar terpampang nyata di depan matanya. Tanpa sadar, Kalandra menekan telapaknya kuat-kuat pada setir. Meski indah, senyum perempuan di papan iklan itu, terasa mengolok-olok dirinya. Kalandra tak akan lupa, hal yang menyebabkan dia membenci perempuan itu. Kembali dia memusatkan perhatian pada jalanan, memusatkan konsentrasi pada meeting yang tertunda karena perjalanannya terhambat.

**


Cinderella Tanpa Sepatu KacaWhere stories live. Discover now