84) Pilihan Sulit :)

19 1 0
                                    


Plis, usahakan jangan silent readers 🙏

🥀

Pukul 15.00, Genta keluar dari ruang khusus pengambilan sempel darah bersama adik palsunya.

Meski belum dapat dipastikan apakah Terry adik aslinya atau bukan, tetapi insting Genta menentang keras untuk menyatakannya sebagai adik kandung.

"Dek, pulang ke rumah nanti temenin Nelly, kasian dia masih demam," pesan Genta sebelum memutuskan untuk kembali ke SMA Trisatya karena dirinya sedang melakukan kepentingan.

Terry berdecak sebal, tak menatap Genta dan malah asik sendiri dengan ponsel pintarnya. "Gue mau hangout. Lo nggak usah nyuruh-nyuruh gue, kalau lo sendiri aja nggak mau."

"Tapi lo_"

Belum sempat Genta menyelesaikan kalimatnya. Terry sudah pergi begitu saja dengan mengabaikan sopan-santun.

Genta membuang napas berat, sangat kecewa dengan tingkat Terry yang sok-sokan seperti ibu-ibu sosialita.

Tetapi bukan Genta namanya, jika tidak menyimpan seribu nyinyiran pedas.

"Sampai terbukti lo bukan adek kandung gue. Awas aja." Genta mengepalkan tangannya dan meninju-ninjunya ke sebelah telapak tangannya gemas. "Gue pastikan lo jadi Terry geprek!"

Di tempat yang sama, namun berbeda letak. Parangga diam dengan wajah tertekuk di hadapan dokter Hendra.

"Lo kalau butuh apa-apa itu bilang ke gue!" kesal dokter Hendra untuk yang kesekian kalinya.

Yang Parangga lakukan hanyalah mengusah napasnya berat.

Dokter Hendra mengusap wajahnya gusar. "Lo tau apa akibat dari perbuatan lo itu?"

Parangga tak menggeleng, maupun mengangguk. Ia masih diam mematung, merasa bersalah.

"Jantung lo makin membesar, dan itu memungkinkan jarak hidup lo semakin menipis. Apa lo nggak mau ngejar impian yang udah lama lo impi-impikan, hah?"

Tenggorokan Parangga tercekat oleh omongan dokter Hendra yang begitu menampar.

"Justru, apa yang bisa gue harapkan dari obat?" suara Parangga terdengar bergetar, menahan tangis. "Cuma buat bertahan doang? Sedangkan diaknosa udah di depan mata? Dan.."

Pandangan Parangga terangkat, menatap kedua bola mata dokter Hendra. "Apa gunanya mimpi, kalau penghalang lebih mendominasi buat impian mati?"

Dokter Hendra yang semula sangat kesal dan terus menceramahi Parangga, kini tertegun.

"Gue nggak punya uang, dan banyak hal yang lebih penting buat gue lakuin daripada buat beli obat, yang belum tentu bisa bikin gue hidup lebih lama lagi."

Ada rasa putus asa besar yang terselip pada kalimatnya.

"Bukannya mau ngeluh. Tapi, selama tujuh tahun gue menanti saat seseorang datang buat donorin jantungnya ke gue. Selalu aja nggak ada." Parangga menelan ludahnya dengan susah payah. "Karena gue dikalahkan oleh uang, dan itu nggak cuma satu dua kali."

"Karena hal itu gue jadi berpikir, lebih baik gue gunakan uang dengan hal yang udah pasti, daripada menanti. Lo juga pasti tau, usia gue udah di ujung tanduk, dan.. kematian nggak ada yang tau." Rasa putus asa semakin dalam menyelimuti Parangga.

Usai mengatakan kalimat panjang yang begitu pedih untuk didengar. Ruangan pribadi dokter itu hening.

Hendra memijat kedua pelipisnya. Merasa pusing dan tidak tahu harus merespon apa. Untuk saat ini, dirinya kesulitan untuk berpikir jernih.

Parangga [√]Where stories live. Discover now