"Kamu serius, Hon? Kita bisa langsung membuatnya sekarang juga." Namjoon menahan diri sampai Seokjin ikutan berhenti, menaikkan alis. Tidak. Belum. Mereka sama sekali belum saling beradegan ranjang karena Seokjin lebih suka hanya berpelukan tanpa tindih-tindihan semenjak mereka tidur seranjang lagi.

"Kau mengujiku?" Seokjin menaikkan senyuman.

"Oh, ayolah! Aku berangkat sendiri kalau lanjut jadi orang ketiga di sini. Serius!" Taehyung menyeletuk kelewat keras sampai Seokjin mencubit ujung hidung Namjoon yang terkekeh.

Ya. Mereka hanya saling menguji karena sebenarnya sama-sama belum siap ke arah sana.

Namjoon yang masih menghormati jarak terbuka yang diberi, lalu Seokjin yang masih tetap dihantui mimpi buruk tiap malam.

Mereka sama-sama paham situasi serius itu dan entah kenapa sudah bisa melontarkan lelucon atasnya. Sungguh aneh.

.

"Aku akan baik-baik saja, Tae." Seokjin meletakkan cangkir tehnya, lurus menatap Taehyung di seberang meja. Namjoon pergi ke kamar kecil sejak lima menit lalu. "Kau tak perlu khawatir."

"Bukan, Kak. Bukan cuma dirimu yang kupikirkan tapi, juga suamimu. Kalian berdua punya kecenderungan saling menghancurkan begitu rasanya sudah seimbang. Aku ...."

"Kami akan baik-baik saja, Taehyung." Seokjin mengulang dengan tekanan. "Kau tak percaya kami bisa memperbaikinya?"

"Kak ...."

Seokjin menumpu kedua siku lengan ke atas meja. Memajukan badan ke arah seberang. "Maafkan aku harus mengatakan ini tapi, kehadiranmu sudah cukup. Dari sini, semua jadi urusanku dan Namjoon. Hanya kami berdua." Taehyung dibuat bungkam. "Aku memang masih tak bisa ingat yang telah lalu, jadi, biarkan itu berlalu. Sekarang adalah sekarang dan aku ingin membenahinya sekaligus membangun ulang susunan ingatan yang semrawut ini."

"Kakak bisa memilah antara, mana efek tontonan dan realita?"

"Ya."

Taehyung kembali diam. Dia belakangan jadi tempat berbagi pikiran. Seokjin dulunya selalu bertanya ini itu. Perlahan berubah jadi memiliki karakter sendiri. Suka menonton ulang film pendek buatan Namjoon bukan untuk ikutan dramatis tapi, mengamati. Mencerna apa yang terjadi dari sudut pandang Seokjin lain dan Taehyung jadi tempat curhatnya.

"Baiklah jika sudah begitu. Toh, memang aku harus melepas kalian juga. Membiarkan kalian sendiri yang meluruskan hubungan."

Seokjin kembali menyandarkan punggung ke kursi. Taehyung menegak habis minumannya lalu melanjutkan. "Hanya kuharap, jangan ikuti jejak buruk masa lalu. Aku mendukungmu. Juga kak Namjoon. Ya. Semoga nanti saat Seonu bisa kuajak ke mari, kalian tetap seatap." Seokjin mengerjap pelan.

Namjoon kembali tak lama kemudian dan mereka pun mengantar Taehyung ke bandara. Berpelukan tanda terima kasih juga salam pisah jumpa. Bergantian.

"Semoga beruntung," bisik Taehyung sebelum melepas pelukannya pada Namjoon. "Kutunggu kabarnya. Jangan lupa ulang tahun Seonu. Dia sangat ingin dua pamannya ada di sana juga. Kumohon?"

Namjoon berpaling ragu ke arah Seokjin, yang nyatanya malah menyanggupi dengan senyum lebar.

"Honey ?"

"Sayangku. Baek Seokjin ini punya dirimu, bukan? Apa yang perlu kutakutkan?"

.

Setelah berpisah dengan Taehyung, Namjoon sungguhan mengajak Seokjin kencan. Berkunjung ke semua tempat yang disinggahi mereka dulu waktu pacaran. Menikmati bersama kudapan yang ditunjuk Seokjin. Berswafoto kapan pun Seokjin minta. Keluar masuk museum untuk saling mengecup di sudut-sudut keremangan tiap kali Seokjin minta dikecup setelah bosan mendengar Namjoon terlalu rinci memuja satu per satu karya seni. Sampai saling memeluk erat di dalam mobil karena kedinginan setelah baku lempar salju, sekali lagi karena Seokjin yang mulai duluan. Persis kelakuan bocah. Mereka tertawa-tawa lepas tanpa dosa.

Honne | NJ √Where stories live. Discover now