5.

639 76 10
                                    

Butuh waktu sedikit lebih lama bagi Seokjin untuk melengkungkan senyum manisnya pagi itu, tapi akhirnya Namjoon dapat dilepas pergi ke studio kerja tanpa perlu merasa berat.

Seokjin memperoleh pompa keberanian yang cukup dan sekarang dia sedang berjuang menyiapkan sepiring mie pedas dingin untuk sarapan. Setelah selesai mengisi tenaga dan berharap dia tidak menimbulkan kekacauan dalam pencernaan sendiri, Seokjin mengisi mangkuk makan Mooni lalu pergi ke sebelah. Ke ruang khusus yang berbatas langsung ke danau dengan dinding kacanya. Namjoon membuatkannya hanya untuk belahan jiwa tercinta.

Karena memang dulu, saat pertama kali bertemu, mereka disinggungkan oleh bau cat serta kanvas yang penuh goresan warna.

Seokjin merentangkan tangan sampai jemarinya menyentuh kursi kayu, duduk perlahan di sana, lalu mulai meraba lagi ke sekitarannya dengan hati-hati. Seokjin tersenyum dan semakin jatuh cinta. Kenapa? Karena Namjoon tak pernah lupa menata sedemikian rapi seluruh alat lukis di sana. Berbekal ingatan akan ucapan sang suami, Seokjin jadi bisa tahu setiap letak juga warna apa saja sampai ke alat-alat bantu lukis lain.

Walau sayang sekali dia tak dapat melihat hasilnya juga melakukan koreksi sana-sini seperti dulu, Seokjin cukup puas mendengar penuturan Namjoon setelah lukisannya jadi.

Hm. Kalau begini, kurasa suatu hari nanti bakal butuh galeri sendiri untukmu, Honey. Bagaimana? Lukisanmu masih sama menakjubkannya seperti dulu.

Namjoon berkata padanya suatu waktu, yang entah itu niatnya menggoda atau sungguhan.

Kau masih ingat lukisan telur ceplok itu?

Oh, tentu saja! Mana mungkin aku lupa pada karya indahmu? Idenya memang sederhana, tapi hasilnya? Wah. Apalagi melihatmu langsung. Kupikir aku sedang berada di taman Firdaus, kamu tahu? Sosok secantik dirimu melukiskan suatu karya yang indah seperti—umh!

Seokjin memeluk sebuah kuas karena ingat dia terpaksa membuangkam Namjoon dengan kecupan kalau tidak mau terus dipuji sampai kepalanya mengepul. Sungguh. Lukisan yang dimaksudkan adalah hasil dari ketidaksengajaan Seokjin yang menjatuhkan telur sarapan ke atas tumpukan kristal gula batu yang harusnya dibuang karena ketumpahan cat air. Seokjin yang iseng mengabadikannya lewat lukisan dan juga iseng menawarkannya cuma-cuma ke salah satu galeri untuk amal, malah mendapat pujian sedemikian rumit nan romantis dari seorang pengunjung jangkung.

Yang mana tiga bulan kemudian terus-terusan tak sengaja berpapasan di mana saja di kota itu, yang tentu saja menimbulkan sebuah hubungan. Dari yang hanya saling mengagumi, seorang yang mengapresiasi seni, tukar pikiran secara serius juga ringan menghibur, sampai jiwa bebas masa muda melibatkan mereka pada satu malam panas yang nyatanya berlanjut ke hubungan serius.

Seokjin membuka beberapa kemasan cat dan membubuhkannya sedikit ke atas papan campur, lalu meraih kuas dan mulai berimajinasi. Berharap tiap garis yang ditorehkannya ke atas kanvas putih, bakal mewujudkan sesuatu dan bukan cuma goresan tanpa makna.

Karena, sembari melakukan kegemarannya sejak kecil, ulasan memori melintasi benaknya.

Hubungan Seokjin dan Namjoon saat ini, begitu amat disyukurinya. Mereka nyaris terpisah kala itu, karena seperti yang sudah jelas, Ayah Namjoon tidak suka pada pemuda tak jelas asal usulnya seperti Seokjin. Seorang yang merantau jauh ke negeri orang hanya demi melarikan diri dari kelam kejam kehidupan di negeri kelahiran, mencari nafkah dari satu kerjaan ke kerjaan lain sampai akhirnya cukup bisa mandiri dengan kemampuan, talenta. Yang bagi sebagian orang dianggap begitu hina, walau mereka tak tahu Seokjin sebenarnya tidaklah menjual diri untuk itu. Dia menjual bakat seni. Suara juga kelihaiannya bermain alat musik.

Namun, Seokjin juga memaklumi. Saat dia bertemu Namjoon, pemuda tampan jangkung yang terasa memiliki segala keberuntungan di dunia, Seokjin memang merasa seperti bajingan paling beruntung. Dia tak tahu bahwa rasa bahagianya terbilang cukup sederhana semenjak bertemu Namjoon. Hanya melihat senyum lesung pipi juga mendengar penuturannya yang rumit soal dunia, mampu membuat Seokjin jatuh cinta. Dalam dan semakin dalam tiap harinya sampai Seokjin rasanya gila.

Sampai suatu saat, didengarnya langsung, Namjoon akan dinikahkan dengan gadis terpelajar yang setara, Seokjin gelap mata.

... yang mana sungguhan membuat pengelihatannya buta sampai kini.

Seokjin melepas kuas yang tersemat di jari dan malah menggunakan telapak tangannya sendiri. Meremas cat yang tadi dicampurkan ke wadah pipih lalu menorehkannya ke kanvas. Mengeluarkan emosi yang ditimbulkan dari kenangan pahit yang menyeruak dalam benak.

" ... aku bukan sengaja ingin buta," lirihnya pada diri sendiri, "aku hanya ingin meraih kebahagiaanku yang akan pergi. Aku tidak mau Namjoon pergi."

Seokjin entah sadar atau tidak, mulai menorehkan jemari ke atas kanvas juga meraih catnya, dengan gerakan acak. Dari yang perlahan, dengan pasti berubah berantakan. Cepat. Juga penuh amarah.

Papan pipih di tangan jatuh sampai Mooni berlari kecil menuju asal suara. Di mana dia memperhatikan dengan saksama ke majikan yang bertingkah. Di matanya, Mooni melihat si majikan yang seolah-olah sedang berusaha merobek benda besar kotak di depan hidungnya.

"NAMJOON MILIKKU!"

Satu gerakan kasar yang kelebihan, membuat kaki penyangga kanvas tergelincir dan seketika jatuh. Menimbulkan bunyi nyaring sampai Mooni menyalak dan mendekat khawatir naluriah, karena Seokjin yang menggunakan beban tubuhnya saat 'mengacak-ngacak' cat ke muka kanvas, ikutan terhuyung ke depan. Jatuh tersungkur di atas cat basah warna-warni. Begitu pun alat-alat lukis di sekitar, semua saling bersinggungan sampai isi ruangan yang tadinya rapi itu, kini berantakan.

Seokjin terengah. Dia setengah tertelungkup dan sedang berusaha bangkit, tapi licinnya cat minyak, membuat siku dan lengan tergelincir. Semakin kuat dirinya menumpu, semakin sering pula terpeleset sampai dagu dan hidungnya mencium lantai dengan menyakitkan.

Terengah. Bau menyengat. Pinggul mulai nyeri, juga wajah yang seperti dipukuli, Seokjin akhirnya hanya diam terbaring. Dia mengesuh Mooni yang menjilat khawatir, sampai dibiarkan sendiri, lalu menarik napas kuat untuk menggulingkan tubuh sampai terlentang. Abai pada rasa mengganjal di punggung yang entah meniduri berapa buah kemasan cat atau kuas atau entah apa itu, Seokjin tengah mengatur napas.

Menunggu suara sialan itu membantu keadaannya agar jadi lebih buruk, tapi hanya napas sendiri juga Mooni yang mengendus, jadi pengisi keadaan.

Seokjin melihat temaram terang di panca indranya yang cacat. Cahaya matahari begitu jelas menerangi ruangan itu sampai dia naluriah mengedip-ngedipkan kelopak mata, berharap bisa menghilangkannya atau membuat perbedaan dengan sesuatu selain hanya berkas menyebalkan tanpa bayang apa pun, tapi tentu itu takkan terjadi.

Seokjin menghela.

" ... Namjoon. Aku memang sudah gila, bukan? Buta juga sinting," lirihnya entah ke siapa, lalu terkekeh sumbang, "cuma karena aku terlalu takut kehilangan dirimu, Namjoon. Cuma itu."

.
Berlanjut ....
.
.
.

[ Kamis, 12052022.]

Honne | NJ √Where stories live. Discover now