2.

817 101 18
                                    

Seokjin merasakan jemari mulai beku. Tidak, bukan karena udara luar kota itu. Dia di dalam ruangan yang hangat, juga terbalutkan piyama bersweter yang nyaman. Rasa menyebalkan yang menggerogotinya dengan pasti adalah dari kepala berdenyut-denyut, dada terimpit sesak, sampai isi perut yang bergejolak bak diaduk-aduk oleh tangan-tangan keji.

Semua menumpuk makin tidak enak karena salah satu indranya memperparah keadaan. Ya. Sepasang mata yang tidak dapat melihat itu, sama sekali membuat kronis kadar gugupnya.

"Mooni. Ini sudah satu jam. Namjoon ... Namjoon pasti pulang, 'kan?" Dia bertanya ke peliharaan yang duduk dengan kaki belakang. Mengamati si majikan yang tidak fokus menatapnya, tidak ke mana pun. "Alexa, hubungi suamiku."

Suara perangkat lunak pintar itu menjawab dan tak lama nada tunggu terdengar ke seisi rumah. Seokjin makin meremas-remas jemari di pangkuan. Alarm tanda kepulangan Namjoon telah berbunyi sejam lalu, tapi deru kendaraan tak kunjung terdengar. Air hangat yang telah disiapkan sebelumnya pun pasti telah dingin dan nada tunggu yang kembali terabaikan untuk kesekian kali, membuat Seokjin seketika berdiri dari tempatnya.

Mooni lantas ikut dan mengekor, menuju pintu keluar. Seokjin tidak pelan-pelan seperti biasa. Napasnya sudah memburu, seolah tengah menghujamkan es ke dada sendiri tiap kali dia melangkah.

Seokjin mencoba. Dia selalu berusaha berdamai dan menenangkan diri, satu dua kali bisa, tapi tak pernah benar-benar berhasil. Seperti sekarang. Sesuatu memicunya dan dia panik, kalang kabut mencari kenop pintu. Mooni bahkan langsung menggigit ujung celana piyamanya dan menarik mundur, insting hewan itu mengatakan ada yang salah dengan gerak-gerik si majikan.

"Tidak, Mooni. Aku hanya ingin menunggunya. Mooni, hentikan! Biar kulihat sendiri kalau ...."

Lihat? Lihat, katamu?! Kau buta, Seokjin! Namjoon membuangmu! Kau sendirian sekarang!!

Suara itu menggaung dalam kepala, Seokjin segera menutup telinganya. "DIAM! NAMJOON PASTI PULANG! NAMJOON AKAN PULANG!" teriaknya frustasi.

Namun, Seokjin mendapat balasan yang sama nyaringnya kemudian.

KAU BUTA, SEOKJIN! NAMJOON SUDAH BOSAN DENGANMU! DIA TIDAK MENYUKAI PELACUR CACAT SEPERTIMU, TOLOL!

"Kubilang, DIAM!" Seokjin menyentak kakinya yang ditahan Mooni dan begitu saja menabrak pintu sekalian menarik lepas kunci di sana. Kepalanya berdenyut menyakitkan dan tepat saat bilah pintu terbuka, dia terjerembab kaki sendiri, terhuyung bebas ke tanah.

"Seokjin! Astaga! Kamu kenapa, Sayang? Hei?" Insting Namjoon memerintahnya lekas membuka pintu, ternyata tepat. Siapa sangka suami tersayang mendadak muncul seperti ingin menerobos pintu dengan sinting?

"Namjoon ... Namjoon ... oh, Namjoon ...," lirih Seokjin berulang-ulang sembari pemilik nama itu memeluknya, mengusap-usap punggung, mengecupi wajah basah juga segera menggendongnya masuk. Lengan bertungkai kecil itu melingkari bahu dan leher keras suaminya. Sedikit gemetar, tapi rengkuhannya sungguhlah kuat.

"Aku di sini, Hon. Tenanglah. Tidak apa-apa sekarang, oke? Maaf, aku telat. Ponselku tak sengaja jatuh saat ngebut pulang. Kamu cemas, ya? Oh, Honey, maafkan aku." Namjoon mengecupi kening suaminya bertubi-tubi. Membawanya ke kamar karena telapak kaki indah itu tak mengenakan alas apa pun.

Firasatnya sudah tak enak tatkala melewati jam pulang. Namjoon mengutuk diri sendiri. Tahu jika Seokjin masih belum bisa mengatasi ketakutannya. Padahal tadi pagi, pria cantik itu tampak baik-baik saja. Nyaris tak pernah lagi memperlihatkan gejala kecemasan akut yang diderita selama setahun terakhir, tapi akibatnya Namjoon teledor. Dia jadi bertanya-tanya sembari terus menenangkan Seokjin di pelukan.

Satu jam. Itu batas toleransi Seokjin kini.

"Ada apa, Hon? Sesuatu menganggumu? Mimpi buruk, ya?"

Seokjin bisa terkadang pulas dan tak tahu dia bangun atau tidak, sampai jadi kalang kabut mencari Namjoon naluriah. Hanya dengan suara dan sentuhan prianya, Seokjin baru bisa mengatasi ketakutan, atau bisa saja karena hal lain, dia jadi panik. Ada sesuatu yang memicu.

"Honey? Aku di sini. Kamu ...."

"Ku ... kupikir kau tak pulang, Namjoon."

"Mana mungkin?"

Seokjin meremas kemeja di dada Namjoon. Dia beringsut melingkarkan diri seperti bisa melesak masuk ke tubuh Namjoon saat itu juga. " ... suara itu ... bilang ... kau ...."

Namjoon menghela sejenak, sudah tahu apa penyebabnya. Dia mengesuh juga bergerak-gerak pelan sembari memeluk Seokjin ketika mereka sudah di tempat tidur, menimangnya.

"Apa suara itu seksi sepertiku?"

" ... tidak. Sama sekali."

"Kalau begitu, tak usah dengarkan. Punyaku jauh lebih menggiurkan, bukan? Memang siapa dia yang berani membuat suamiku merengek begini? Mainnya diam-diam. Pengecut."

Seokjin menghirup aroma vanila dan kayu manis yang kuat dan hangat. Diresapinya banyak-banyak sampai semua rasa menyebalkan itu sirna dan benaknya hanya dipenuhi Namjoon. Setiap mimik emosi juga dari suara yang didengarnya, tergambar jelas dalam kepala dan Seokjin merasa lebih baik.

Kepala yang tadinya berat berkabut, sudah ringan lagi. Seokjin tersentak kaget.

"Astaga. Mooni. Aku tadi menyentaknya lepas. Di mana dia? Mooni?" Namjoon melepas perlahan Seokjin yang bangkit bangun seraya menepuk-nepuk tempat tidur di sisi mereka. Membuat peliharaan berbulu putih itu melompat naik.

"Dia kenapa?"

"Tadi, menggigit celana piyamaku saat menuju pintu. Padahal, aku cuma mau mengecek saja," aku Seokjin seolah dia betulan bisa melakukannya. Namjoon tersenyum maklum, meraih wajah suaminya lalu mengecup bibir ranum yang tadinya menggumamkan nama yang sama berulang-ulang.

"Mooni harus dapat hadiah kalau begitu."

Seokjin mengangguk. "Kau mentitahnya secara akurat, ya? Aku tidak kambuh, tahu. Hanya, bingung. Apa sesuatu terjadi, sampai kau telat pulang?"

Wajah Namjoon mengguratkan kepahaman yang sangat jelas seandainya Seokjin bisa menatap balas. Semua ucapan pengelak Seokjin tadi, sama sekali tak manjur di telinga Namjoon.

Mengecup sekali lagi lalu beranjak untuk mengganti baju, Namjoon menjelaskan, "Kebetulan tadi, kami sempat rapat daring dengan rekan lain di benua seberang, makanya lama. Maaf, ya?"

Seokjin bergumam memaklumi sekalian mau kembali mempersiapkan air mandi hangat, tapi suaminya meminta agar dia tetap duduk manis bersama Mooni dan setelahnya, mereka makan malam.

Satu jam kemudian, mereka berdua tengah duduk santai di ruang tengah. Seokjin baru setengah jalan menceritakan kedatangan Hoseok tadi siang, saat terpaksa menyudahi karena panggilan ke ponsel Namjoon. Soal kerjaannya.

Namjoon masih seru berteleponan selama beberapa menit ke depan, sampai membiarkan Seokjin mendaratkan kepala di pangkuan. Entah sejak kapan, kegelapan yang menguasai pengelihatan Seokjin membuainya ke alam mimpi. Kali ini dia tidak panik saat tersentak bangun, karena sadar ada sentuhan tangan besar hangat juga suara merdu yang membisikkan ketenangan padanya.

Suara-suara jahanam sesaat lalu, telah lama hening dari kepala Seokjin.

Namjoon sudah di sisinya dan tak ada apa pun yang Seokjin takutkan.

.

Berlanjut ....

.

.

.

[ Kamis, 280422 ]

Honne | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang