6.

596 75 8
                                    

Ditegur harusnya menimbulkan rasa sesal juga bersalah, tapi Seokjin malah diam dengan senyum paling manis yang dia punya karena mendengar celoteh suami tercinta sembari merawat luka gores juga membersihkan noda cat air dari wajahnya. Suara merdu yang bisa dibayangkan terlihat tegas juga tampan itu, membawakannya kue empuk bentuk ikan isi kacang merah yang masih hangat dan harum saat pulang. Selesai menasehati dengan sayang, mereka duduk tenang di ruang tengah sambil menikmati kudapan setelah makan malam.

Seokjin membiarkan diri dipeluk juga dikecupi terus menerus sebagai hukuman. Walau orang awam akan melihatnya sama sekali bukanlah bentuk dari teguran, Namjoon menilai jika Seokjin tidak pantas diberi kekerasan, sebaliknya, dia akan lebih dimanja kalau sampai lalai dalam menjaga diri.

Pria awal tiga puluh itu ingat betul kalau suami cantiknya tak suka diperlakukan seperti wanita, jadi tegurannya adalah memanja. Sangat dimanja. Suatu bentuk 'hukuman' yang pantas untuk pria yang lebih tua dua tahun darinya, bukan?

"Besok aku bebas kerjaan. Jadi, Honey, kurasa kamu tak akan kubiarkan turun dari ranjang seharian," ucapnya dalam suara rendah yang menggelitik cuping telinga Seokjin sekalian lehernya dibubuhi kecupan.

"Mn, i-itu keterlaluan," protes Seokjin mendorong dada si suami agar berhenti membuatnya merinding nyaman.

"Siapa suruh melukisnya demikian kasar? Masih untung cuma tergores dan bukannya ..., " ucapan terpotong dering ponsel, Namjoon mengerang kesal karena terganggu juga terpaksa melepaskan jemarinya dari menggerayangi perut Seokjin untuk meraih benda pipih pintar itu.

Seokjin mengusap bekas sentuhan panas di perutnya sekalian menurunkan piyama agar rapi kembali, sisa gigitan kue manis di tangannya dilahap satu kali lalu membalik badan sedikit untuk meraih cangkir di meja, tapi gerakannya berhenti mendadak bukan karena lengan yang melingkari pinggulnya mengeras, tapi karena suara Namjoon yang berubah.

" ... bagaimana keadaannya sekarang?"

Seokjin mengusap bahu Namjoon sekalian perutnya, menenangkan.

"Hm, baiklah. Kami akan pulang secepatnya." Namjoon diam setelah itu. Membuat Seokjin tercenung.

"Ada apa? Siapa ...." Seokjin diberi kecupan panjang sekalian didekap sampai membuatnya terbaring ke atas sofa empuk dengan Namjoon menindihnya. Seokjin merasa sebaliknya atas tindakan manis itu. "Namjoon?"

"Ayah sekarat dan memintaku pulang." Suaranya teredam di lekukan leher Seokjin, jadi sangat jelas tertangkap di telinga.

Seokjin meremas lengan suaminya. "Bagaimana bisa? Bukankah dia baik-baik saja saat ke sini? Kapan itu? Dua minggu lalu? Dia ...."

" ... punya riwayat sakit kambuhan, ya, dan ibu berusaha tidak terisak tadi saat berbicara padaku." Pelukan Namjoon berubah erat. "Oh, sialan."

Seokjin hanya bisa balas merengkuh. Jujur. Dia sendiri bingung harus mengatakan apa karena kabar yang sangat tiba-tiba itu. Dari suara dan bahasa tubuhnya, Namjoon enggan melaksanakan apa yang tadi dia ucapkan pada si ibu. Sangat terasa di batinnya.

"Kita ... harus kembali ke Korea, Honey."

Seokjin menelengkan wajah sampai menyentuh pelipis Namjoon. "Ya, tentu saja. Ayahmu membutuhkanmu."

"Bagaimana denganmu?" Namjoon menempelkan wajahnya erat ke sisi leher Seokjin, menghirup aroma manis darinya lamat-lamat. "Kamu telah bersumpah takkan kembali lagi dan aku juga takkan mungkin meninggalkanmu sendirian di sini. Aku ...."

Seokjin tersenyum, menggunakan ujung hidungnya menyentuh pipi Namjoon. "Selama kita bersama, aku tidak takut apa pun, Sayangku."

Namjoon memeluknya penuh. Tidak mengatakan apa pun setelahnya.

Honne | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang