9.

569 70 13
                                    

"Tapi, aku baru saja makan roti pesananmu," jawab Seokjin, ke ponsel rumah tanpa kabel di dekat sana, di ruang keluarga, yang tadi berdering. Namjoon tahu jika suaminya itu tengah menunggunya sambil ngemil ditemani Mooni. Dia selalu mengawasinya dari kamera di seluruh sudut.

Mereka berteleponan sejak tiga puluh menit lalu. Sudah berlangsung selama dua bulan, Namjoon disibukkan dengan aktivitas sebagai produser musik. Kebetulan dia mendapat seorang penyanyi dari negeri sendiri yang kualitasnya dia agungkan juga sesuai dengan yang dicari. Namjoon harus membuatkannya beberapa lagu dari jauh karena jarak mereka terpisah. Biasanya dia tak mau menerima, tapi talenta penyanyi muda yang ditawari padanya untuk dibimbing, ternyata sangat cocok dengan visinya.

Karena hal itu, kegiatan Namjoon jadi padat. Bahkan dapat dihitung dengan jari, kapan Seokjin dan dirinya sempat sarapan bersama. Begitu pun saat makan malam. Seokjin sekarang hanya makan sesuai pesanan Namjoon. Suaminya menjadwalkan menu sehari sesuai apa yang dimau Seokjin. Makanan itu akan diantar dan ditinggalkan di depan pintu rumah. Tanpa harus bertatap muka. Rasanya pasti membosankan untuk Seokjin, tapi dia tak bisa egois. Namjoon berdedikasi dengan profesinya karena itu adalah impian, jadi Seokjin hanya bisa maklum dan menjalaninya.

Dalam hubungan intim pun, mereka hanya bisa sejauh saling peluk dan mengecup mesra. Tidak sempat senggama karena Namjoon tak mau meninggalkan Seokjin dalam keadaan payah sendirian tanpa dirinya.

" ... dia nyaris bisa segalanya. Koreografi dilakukan dengan baik, suara tertata tanpa cela, juga penampilan yang memikat mata. Aku, seperti pernah melihat dia sebelumnya, tapi entah di mana. Apalagi, dia dari Busan."

"Kau pernah ke sana?"

"Tidak. Atau, mungkin juga pernah. Aku sudah tak ingat pasti. Oh, iya. Dia ada titip sesuatu untukmu."

"Apa itu?"

"Akan kuberikan nanti. Mungkin sekitar dua puluh menit lagi aku sampai. Bersiaplah."

"Namjoon. Aku sungguhan masih kenyang."

"Hanya sebentar, Honey. Aku dapat kesempatan hanya hari ini dan aku ingin pergi denganmu. Kapan lagi menikmati pai legendaris itu? Mau, ya? Kita hanya beli lalu bawa pulang, oke? Sekalian mengajakmu kencan."

Seokjin tersipu mendengar tawa Namjoon. Dia juga sebenarnya ingin pergi, tapi tak enak kalau harus mendengar Namjoon terus-terusan menjabarkan indahnya panorama yang mereka lalui. Bukan karena Seokjin tak suka, tapi dia lebih ingin menghabiskan waktu istirahat Namjoon dengan memeluknya erat serta mengecupnya lamat-lamat.

Itu jauh lebih romantis, bukan?

Seperti kata Namjoon tadi, dua puluh menit setelahnya, suara kendaraan di luar sana membuat Mooni menyalak sapa. Bahkan, Namjoon dengan jenaka tak ingin mengakhiri panggilan walau jelas dia sedang berjalan ke dalam halaman dan membuka pintu masuk. Seokjin menepuk lengannya saat direngkuh erat sekalian membubuhkan kecup sayang. Mereka berkutat sejenak karena Namjoon dengan nakal membenamkan wajahnya begitu erat di leher Seokjin, menggelitikinya dengan ujung hidung juga gigitan kecil, lalu sebuah bingkisan diberi.

"Oh, bagaimana dia tahu kalau kamu suka warna biru, Hon? Dan, ukurannya ...."

Kepala Seokjin menyembul dari mulut lubang atas sweter itu. "Pas sekali. Aku seperti dipeluk," katanya seraya menarik-narik bagian perut dan bahu dengan senyuman. Namjoon terkekeh karena rambut suaminya mencuat liar. "Apa ada gambarnya? Bagaimana menurutmu?"

"Yep. Ada motif kepala paus gemuk di bagian perutmu. Manik matanya dari biji hitam mengilap. Lucu sekali. Kurasa sangat cocok mengapresiasikan apa yang ditutupi olehnya." Seokjin dengan cepat mencubit dada Namjoon sampai dia memekik minta ampun.

Honne | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang