10.

547 58 37
                                    

Ponsel diletakkan sedikit keras kali ini. Mendengar kabar yang tanpa perubahan berarti berulang kali, hanya semakin membuat kepalanya sakit.

Bangunan tua resto yang tanpa kamera jadi titik kesalahan berikutnya. Jarak membentang berkilo meter antar rumah ke rumah lainnya di daerah yang jauh dari pusat kota itu, juga tak luput ikut dalam segala faktor kesialan yang ada. Tak ada jejak kamera sedikit pun. Disayangkan pula, kamera dashboard hanya mengarah ke depan di luar mobil dan bukan di dalamnya.

Oleh pihak berwenang, van es krim itu dilacak, tapi berujung tak membuahkan hasil memuaskan. Kendaraan itu telah lama menunggak pajak dan diketahui juga telah dicuri. Seseorang entah bagaimana mendapatkannya dan merubah sedikit penampilan luar. Pemilik aslinya bahkan tak tahu menahu di mana kendaraannya berakhir, sudah sekitar empat bulan lampau. Walau pun begitu, sehelai rambut yang ditemukan, berhasil membenarkan bahwa Seokjin sempat ada di sana.

Sekilas tampak ada harapan, tapi seketika itu sirna, berubah menjadi bibit mimpi buruk berikutnya.

Akibat dari tes dna juga pencocokkan identitas, Seokjin diketahui telah terdaftar menjadi imigran gelap dan Namjoon harus menyelesaikan masalah itu seiring menunggu kabar lain dari hasil penyelidikan kasus penculikan yang tengah terjadi.

Empat hari setelah kejadian, polisi berhasil menemukan pelaku, dan Namjoon segera menyusul ke kantor polisi dengan harapan besar juga amarah membludak. Namun, kesabarannya masih harus diuji. Pria itu hanya diperalat. Dia dijanjikan sejumlah besar uang oleh seseorang bernama Gloss untuk menculik Seokjin, tapi di tengah perjalanan pria itu ditembak peluru bius dan Seokjin pun menghilang saat dia siuman. Saat diciduk, pria itu juga malah mengumpat sepat karena dikerjai tanpa bayaran.

Namjoon memberinya bogem mentah sampai dia babak belur di ruang interogasi. Pria itu mendapat hukuman karena terbukti menggelapkan uang perusahaan dari mantan atasan dan terlibat dalam kasus penculikan.

Namjoon tentu saja tidak puas karena mereka hanya mendapat nama tanpa tahu lokasi atau pun apakah Seokjin masih hidup atau tinggal mayat.

Segala kejadian itu beruntun membuat Namjoon semakin terpuruk. Sampai kini.

Seketika isi meja kerja dihambur ke lantai. Tertumpah berantakan dalam riuh berisik. Namjoon terengah sambil meremas rambut kepala. Setengah membungkuk lalu meraung sampai tenggorokannya perih, "DIA MASIH HIDUP! SEOKJINKU MASIH HIDUP!"

Namjoon meremas kepala makin keras. Dia perlahan berjongkok. Membenamkan diri di antara lutut kaki, lalu mendadak bergeming. Wajah pias pucat yang sudah ditumbuhi janggut dan kumis tipis itu tengadah. Mata sembabnya diusap cepat lalu pergi membuka pintu. Mooni nyaris ditendang kalau tak lekas menyingkir, karena langkah kaki jangkung tak berhenti saat menyambar kunci, pergi ke pintu keluar.

Namjoon sekali lagi nyaris menabrak, seseorang berdiri di depan pintu rumahnya. Senyum terulas manis saat tengadah, memamerkan dua gigi depan rapi sambil menyodorkan bungkus makanan.

"Kita makan dulu, Hyeong!" ujarnya riang segera mendorong Namjoon kembali ke dalam rumah, tanpa kesulitan. Tak lupa menutup pintu di belakang mereka.

"Aku harus mencari Seokjin!" Namjoon menahan diri dari tarikan di pergelangan tangan, lalu menyentak sampai lepas. Berpaling ke pintu lagi. "Kau tinggal saja dan-"

Tarikan kencang di lengannya memaksa Namjoon terhuyung ke belakang, kaki terjerembab sendiri lalu mereka jatuh ke lantai.

"Untung reflekku bagus. Makanannya selamat dan Hyeong pun di tangan."

"Pindah."

"Makan dulu, Hyeong."

Namjoon bangun seraya meraih lengan hendak menarik pergi tubuh yang menindihnya, tapi berakhir saling bergulingan dan malah menindih balik dengan sepasang kaki melingkari pinggulnya juga kedua tangan yang dipaksa saling genggam, memaku tubuh Namjoon di lantai. Dia mengernyit tak suka, tapi wajah sosok di bawah tersenyum pamer gigi.

Honne | NJ √Où les histoires vivent. Découvrez maintenant