8.

686 76 35
                                    

"Apakah sebegitu marahnya dirimu sampai-sampai tak mau bicara denganku lagi, Nak?"

Namjoon mengerjap. Pandangan jatuh lurus ke hamparan hijau rerumputan di kejauhan. Taman kota yang sedang diisi para penduduk lokal dalam berbagai kegiatan. Seorang gadis dan temannya yang tengah mengendarai sepeda, jadi titik berat sepasang mata Namjoon yang melunak lelah.

"Kerjaanku menumpuk sejak pulang. Maaf, jika tak kunjung bisa menjawab panggilanmu, Bu. Bagaimana keadaanmu?" Namjoon kelepasan menekan tombol terima, mengira itu Seokjin, karena sepuluh menit sebelumnya mereka tengah membahas belanjaan yang harus dibeli Namjoon. Siapa sangka, yang harusnya dihindari malah diterima juga akhirnya? Setelah sebulan berlalu.

Jemarinya melepas gagang setir untuk mengusap wajah, suara balasan dari seberang sana, sarat kerapuhan. Namjoon tahu mengapa.

" ... setiap hari. Aku seperti kehilangan semuanya. Nak. Kita bisa membicarakannya baik-baik. Maaf. Maafkan ibu yang tidak jujur padamu soal keputusan ayahmu, tapi masih ada--"

"Bu," potongnya tanpa tekanan suara, " ... aku mohon. Jangan siksa dirimu sendiri dengan keputusanku. Kim Junwoo, sudah menegaskan statusku, bukan? Toh, aku memang bukan darah daging kalian. Tolong curahkan perhatianmu pada Taehyung--"

"Kau juga putraku, Kim Namjoon! Walau bukan aku yang melahirkanmu! Kau ... astaga, Nak. Wanita tua ini hanya ingin melihatmu dan Taehyung bahagia. Termasuk semua menantuku, Sora, Seokjin, juga Seonu. Di umurku yang sudah bau tanah, cuma keluarga yang utuh, apa tak bisa, Nak? Tanpamu dan Seokjin, rumah ini ... Namjoon. Oh, Namjoon. Pulanglah. Ibu membutuhkanmu ... aku, aku masih ibumu, bukan?"

Namjoon memejamkan mata. Melempar kepala ke sandaran kursi kemudi. Dia juga tak mau melupakan wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.

"Tentu saja, Bu."

"Kalau begitu pulang, ya? Ajak Seokjin juga. Tidak perlu pisah, Seokjin akan kita sembuhkan sama-sama, oke?"

"Kakiku sudah dilarang masuk ke sana, Bu."

"Kim Namjoon! Aku masih hidup dan kukatakan jelas-jelas padamu, kalau kau dan menantuku diterima di sini! Abaikan wasiat pria tua yang sudah jadi mayat itu, kau dengar aku?"

Namjoon tahu dia tidak dimarahi. Suara tegas yang membuatnya membuka mata dan menatap tajam lagi, sayangnya tak cukup kuat untuk membuat keputusannya goyah.

"Tidak, Bu." Suaranya masih terkendali. Tenang. Tanpa emosi. "Aku sudah lelah memikirkan ini. Putusanku akan tetap sama. Sekarang, aku Baek Namjoon."

Suara di seberang hening, tapi tak lama segera terdengar isakan pelan. Namjoon merasakan dengan jelas, nalurinya yang ingin memeluk wanita tua itu.

"Seokjin adalah hidupku, Bu. Jika dia tidak diterima di rumah yang membesarkanku, aku akan keluar. Aku sudah bisa memutuskan, bukan? Ini pilihanku." Jeda sejenak diambilnya guna menekan kalimat barusan, lalu, "Aku memang takkan pulang ke sana, tapi bukan berarti, kalian tak bisa datang ke mari. Pintu rumahku terbuka lebar. Anda masih ibuku. Taehyung masih adikku. Itu takkan berubah. Aku hanya ingin menghormati keputusan akhir Kim Junwoo. Aku tidak membencinya dan pergi dari Ilsan adalah bentuk kepatuhanku sebagai anak angkatnya."

"Namjoon ...."

Yang disapa lirih, tersenyum. Bersamaan dilihatnya sepasang kekasih yang saling berpelukan di atas tikar piknik mereka di kejauhan.

"Terima kasih, Bu. Uhm. Jika liburan nanti, datanglah ke mari. Sekalian merayakan ulang tahun Seokjin. Bagaimana?"

"... Ya. Iya, Nak. Ibu pasti datang. Taehyung, Sora juga Seonu, pasti datang." Walau gemetaran, suara wanita di seberang sambungan itu terdengar jelas. Sadar tak lagi bisa meluluhkan kebulatan tekad Namjoon. Mengucap perpisahan, panggilan pun usai.

Honne | NJ √Onde histórias criam vida. Descubra agora