13.

512 62 19
                                    

Entah mau dikata hal baik atau buruk. Pihak forensik telah mengatakan hasil analisa terhadap bercak darah di sweter Seokjin. Itu milik seseorang yang datanya sama sekali tidak cocok dengan kependudukan seluruh warga Selandia Baru. Jadi, sementara Namjoon bisa lega. Tahu jika ketakutannya tidak terbukti, juga bersamaan dengan itu timbul keresahan. Bagaimana bisa noda darah begitu banyak ada di pakaian Seokjin? Apa yang terjadi? Di mana mereka? Ya. Itu yang masih menjadi misteri. Keberadaan Baek Seokjin.

Telah genap dua bulan lamanya sejak Seokjin menghilang. Namjoon menghitung hari demi hari secara menyakitkan. Walau sekarang lebih terkendali dan lebih terlihat seperti manusia normal tapi, tempo kehidupan Namjoon terasa amat lambat serta kosong.

Tentu saja. Karena 'jiwa'nya telah diambil oleh seseorang. Di luar sana. Entah diapakan.

Namjoon mencengkeram dada kausnya. Bernapas kembali tersendat, pandangannya buram, tapi dengan perlahan dia memejam juga mengatur jalannya oksigen. Menghitung sampai sepuluh dalam kepala. Saat Taehyung mengetuk pintu kamar, Namjoon telah membuka mata dan napasnya lancar seperti semula.

Taehyung menyodorkan gagang telepon rumah tanpa kabel ke depan Namjoon. Mengatakan Jungkook ingin berbicara dengannya. Tersenyum kecil, dia menerima dan membawa telepon itu ke dalam kamar. Tidak mengunci pintu.

"Hyeong, bagaimana kabarmu?"

Namjoon merapikan sendal Seokjin di bawah ranjang. Rasanya gamang mendengar suara pemuda itu lagi setelah apa yang terjadi.

"Aku oke. Kau sendiri?"

" Sama denganmu. Um. Apa ada kabar baik?"

Menggeleng seolah dilihat, Namjoon menjawab, "Tidak ada yang signifikan. Bagaimana? Ada sesuatu yang terjadi di kantor sampai meneleponku? Kenapa tak langsung ke ponsel?"

"Uh, sebenarnya aku tidak mau, tapi ...."

Namjoon pergi ke jendela dan menyibak tirai, hamparan cantik danau di kejauhan, segera terlihat. "Apa Grubbs menyulitkanmu?" Itu nama rekan produser musik yang ada di pihak label tempat Namjoon dan Jungkook bekerja.

"Tidak juga."

"Manager Yeoh lupa menjemputmu ke kantor?"

"Dia selalu tepat waktu Hyeong."

Namjoon berpaling ke ranjang. Menerawang ke bingkai foto kecil di atas nakas, ke foto pernikahan berlatar menara bunga yang di tengah-tengahnya ada dua orang berpakaian putih gading yang salah satunya mengecup pipi seorang lain yang tengah tersenyum cantik nan indah. Mereka sangat bahagia.

"Lalu? Sesuatu terjadi saat aku tak di sana, ya? Apa kau baik-baik saja? Jawab yang jujur, Jungkook." Namjoon memang tidak produktif semenjak Seokjin hilang, tapi dia tak lupa memberikan penyelesaian untuk semua tugas di kantor sebelum kembali fokus pada permasalahan utama. Dia juga awas untuk menjaga Jungkook, seorang yang berada dalam tanggung jawabnya. Jadi, rasanya dia kian bersalah saat tidak di sana ketika Jungkook membutuhkannya. Atau, bisa saja karena hal lain yang pasti Namjoon tidak setujui.

"Jungkook?"

"Hyeong. Kau harus datang ke mari."

Namjoon mengerjap. "Kalau kau memintaku untuk bersentuhan lagi—"

"Datanglah dulu."

"Jungkook. Aku serius soal itu. Hentikan afeksimu padaku, demi apa, aku tak mau menambah dosa sementara Seokjin masih belum kutemukan."

"Tak bisa bilang. Datanglah sekarang, oke?"

Sambungan putus. Namjoon menggeram, dia menekan tak sabar nomor Jungkook, tapi tidak tembus. Nada sibuk menjawabnya beberapa kali sampai dia harus berderap keluar. Perasaannya tidak enak.

Honne | NJ √Where stories live. Discover now