18.

563 68 16
                                    

Seokjin tersentak bangun. Tangan meraba sekitar juga menatap nanar.

Kedua jemari masih meraba halusnya selimut juga bantal. Penciuman dimanja aroma lembut lavender. Sepanjang mata memandang walau remang, rona keemasan lampu tidur di langit-langit menaunginya. Tatanan rapi perabot, sepasang kursi malas dekat jendela yang tertutup tirai kelabu lapis dua, nakas unik biru pastel dengan deretan pigura kayu juga dari kaca di atasnya, lemari tinggi berpintu geser dominan warna putih kelabu juga jejeran bingkai lukisan berbagai bentuk di dinding, semua bergeming hening.

Seokjin berpaling naluriah ke sebelah kanan, ke nakas rendah yang menyatu dengan kepala ranjang yang di atasnya bertengger sebuah pigura berukuran sedang. Foto dirinya dan Namjoon dengan setelah putih gading berlatar tiang rangkaian bunga juga guguran kelopak bunga warna warni. Mereka tersenyum lepas. Seokjin tertawa cerah dengan Namjoon yang mengecup pipinya sambil merengkuh. Sebuket bunga kecil yang indah, menggantung di bahu Namjoon karena Seokjin balas merengkuhnya.

Sungguh bahagia. Apalagi jika Seokjin berhasil mengingatnya.

Terengah-engah. Seokjin merasakan tenggorokan kering. Rasa gamang ketika menatap sekitar, jauh lebih baik dari pada denyut ketakutan yang merongrong dalam mimpi barusan. Kegelapan itu. Sentuhan menjijikkan itu. Suara desah laknat juga aroma anyir yang kembali membuat mual itu, seakan mencakar-cakar di balik kulit dan Seokjin gemetar saat turun dari ranjang. Berniat mencari seteguk air di dapur.

Seluruh keadaan rapi minimalis sekitarnya, beribu kali lebih baik dan Seokjin ... ingin sadar lebih lama. Terutama untuk melihatnya. Pria yang terbaring di atas sofa. Tertutup selimut yang gagal menyembunyikan seluruh tubuhnya. Dua ujung kaki yang masih mengenakan kaus itu, menyembul keluar. Didekati lebih jelas, malah tersibak sampai betis.

Apalagi, bagian atas tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun. Lekuk otot lengan juga bahu yang menyembul bagus itu, selalu membuat Seokjin panas dingin sejak terkesiap pertama kalinya seminggu lalu.

Seokjin sadar alasannya betah menatap lama. Ya. Mungkin?

Jalannya napas sudah membaik saat hanya berdiri mengamati. Bagaimana hidung bangir itu kembang kempis. Dada yang naik turun. Juga, dengkur berima yang keluar dari belah bibir yang sedikit terbuka. Seokjin menarik senyum, lalu mengerjap sadar.

Sejak kapan dia menyukai irama berisik yang harusnya menganggu itu? Benar juga. Bukankah sebelumnya ....

Entah. Terserah. Seokjin sudah tak mau pusing mencari jawaban sekarang. Dia telah lama menyerah karena hanya tambah sulit mengabaikan. Jadi, dia cuma ingin mengamati ekspresi tidur bak bayi itu. Sudah lupa tujuan untuk apa turun dari ranjang.

Oh? Tunggu sebentar. Bisa ingatkan lagi kenapa mereka harus terpisah tidur? Bukankah mereka sudah menikah?

Berbekal pertanyaan menggaung itu, ujung telunjuk Seokjin menusuk pipi Namjoon. Tepat menekan ke titik hitam kecil di sana. Dengkuran yang nyaring mengisi keheningan seketika terganggu. Sedikit tersedak lalu sama sekali hening. Seokjin menusuk lebih dalam sampai Namjoon menggeliat sadar.

Baru ketika sepasang mata tidur itu membuka, Seokjin sungguhan terkesiap. Apa yang barusan dia lakukan? Menganggu tidur orang, tentu saja! Oh, astaga.

Seperti pencuri panik, Seokjin lari tunggang langgang kembali ke kamar tapi, sapa serak Namjoon duluan mengejutkannya sampai nyaris terpeleset. Untung Seokjin berhasil meraih ambang pintu alih-alih mencegah jatuh, dia merapatkan diri ke baliknya.

" ... Honey ? Kamu ... butuh sesuatu?" Namjoon mengerjap-ngerjap, berusaha fokus untuk mendapati kepala menyembul dari ambang pintu. Dia tersenyum. "Hei."

"Kau bangun?"

Namjoon mendengkus. "Yep. Ada apa? Tak bisa tidur lagi?"

Seokjin bergantian memandang muka tidur Namjoon juga rambutnya yang mencuat liar. Dalam perutnya seperti tergelitik. Pria terlelap sesaat lalu, sekarang nampak begitu lucu juga tampan secara bersamaan.

Honne | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang