14.

512 65 21
                                    

Darah. Namjoon terbelalak menatap genangan merah pekat yang termuntahkan itu. Menggenang juga meresap di atas karpet studio miliknya. Kepulan asap dari senjata pun menguarkan bau terbakar ke seisi ruangan kedap suara itu, meninggalkan bekas lubang di dinding tepat di belakang Namjoon. Di mana harusnya terdapat ceceran isi otak juga, jika tembakan sesaat lalu tepat sasaran.

Namun, tidak. Dari pada merasa lega karena batal mati, sebuah kesimpulan muncul di logika.

Yoongi merunduk berlutut sembari meremas dada juga menangkup mulut. Suara terbatuknya sungguh memilukan. Sungguh berbanding terbalik dengan perangai jumawa kuasa bak pembunuh bayaran sesaat lalu. Kini, Namjoon malah nyaris menghampirinya untuk membantu. Tetapi, moncong senjata itu sigap mengarah padanya walau gemetar. Salah-salah, kepalanya benaran tertembak.

" ... darah di sweter Seokjin, milikmu?" Namjoon hati-hati bertanya, mengingat data hasil dari pihak forensik tidak cocok di siapa pun. Karena memang bukan dari penduduk lokal.

Yoongi akhirnya berhenti terbatuk. Mengabaikan bercak-bercak merah akibat ulahnya, dia tengadah. Senyum miring tersungging, sangat kontras nampak warnanya di atas kulit pucat. Dia tertawa sumbang ketika menjatuhkan bokong ke lantai, senjata lunglai di atas lutut yang bersila.

"Apa ... apakah kau menyentuhnya?" Namjoon tak mau tahu jawaban dari pertanyaannya. Sungguh.

Jemari pucat mengelap asal basah darah di mulut. Penampakan wajahnya jadi tambah menyedihkan. Mengerikan. "Kenapa? Kau juga sudah meniduri Jimin sebelumnya. Aku jelas tengah balas dendam padamu dan ya, menyetubuhi pria cantik yang buta sungguh hal mudah bagiku, bukan? Sayang, aku terhalang batuk sialan ini saat sibuk menggempurnya."

Namjoon menggertakkan gigi. Jantungnya diremas kuat, tapi dia tak sanggup melayangkan pukulan karena apa yang dikatakan Yoongi sekali lagi menohok secara kejam. Karma. Dia tengah menuainya kini dan membayangkan Seokjin yang berteriak minta tolong juga ketakutan, membuatnya hancur. Sangat hancur.

"Kau diam saja? Tak mau memukulku? Tinju itu terkepal sia-sia, bukan? Oh, right." Yoongi membuang senjatanya lalu merentangkan tangan. Senyum miring di wajah belum mau luntur. "Kau tahu? Suaranya sangat indah. Terlebih, dia terus memanggil namamu sambil menangis."

Seketika itu juga Namjoon menerjangnya sampai terjengkang. Kursi kerja terhempas ke sisi lain, menabrak perangkat komputer dekat sana lalu terbalik. Namjoon tak ambil pusing karena kedua tangannya sudah mencekik leher Yoongi. Menekan dada pria itu menggunakan lutut. Matanya tajam walau memerah berlinang air mata. Urat leher di sana menonjol karena geram pelampiasan.

Sayang, Yoongi malah menarik kedua sudut bibir lebar-lebar.

"Ya. Bunuh saja aku. Dengan begitu, aku akan bertemu Jimin. Tidak denganmu. Sampai Seokjin mati membusuk, kau takkan pernah menemukannya."

Namjoon mengeratkan cekikannya. Sungguh. Ada suara dalam kepalanya yang memompa berapi-api agar lekas mencabut nyawa Yoongi atau mematahkan lehernya tapi, ketika mata pria di bawahnya terpejam perlahan, Namjoon meraung. Dia melepas cekikan, mengepal di sisi leher Yoongi begitu keras sampai kuku-kukunya sendiri menusuk daging tangan. Teriakan Namjoon kencang dan sumbang. Melolong bagai serigala sekarat, lalu memelan, berubah jadi raung pilu menyedihkan. Kening jatuh menekan dada Yoongi.

" ... aku kalah. Aku menyerah," lirih Namjoon. Yoongi membuka mata terganggu karena momen kematiannya batal secara menyebalkan. " ... apa yang kau inginkan dariku? Baik. Balas dendam. Oke. Lakukan sesukamu, tapi aku ... aku tak bisa bawa kembali Jimin. Aku tak bisa memperbaiki kesalahanku ... aku tak bisa ...." Yoongi makin kesal mendengar ratapan itu. Namjoon tetap melanjutkan.

"Hanya dia, hanya Seokjin yang kupunya. Biarkan aku bertemu dengannya sekali lagi, lalu lakukan apa pun padaku. Bunuh aku. Tembak. Penggal. Permalukan aku, apa pun! Asal aku bertemu dengannya. Sekali saja. Kumohon. Seokjin ... ."

Honne | NJ √Where stories live. Discover now