12.

508 73 6
                                    

Beruntung Taehyung akhirnya bisa datang dan menemani Namjoon yang sedikit lagi gila. Saat dia sampai, kakak beda darah dengannya itu tengah menangis sambil memeluk Mooni yang lemas. Jika Taehyung terlambat semenit saja, mungkin anjing lucu itu bakal tinggal nama, bahkan saat dibawa ke klinik, Namjoon terus meratap dengan menyalahkan dirinya. Menitik-beratkan semua kejadian pada diri sendiri yang tak becus. Maka dari itu, Taehyung yang sabar dan penuh pengertian, memutuskan akan melakukan semua tugas. Mulai dari membiarkan Mooni dirawat sebaik-baiknya sampai pulih di klinik, lalu membawa pulang Namjoon dan menenangkannya, ya, juga merawatnya agar kembali terlihat seperti manusia.

Sudah terhitung enam hari lamanya sejak Taehyung datang, Namjoon jauh lebih baik. Walau masih suka murung serta melamun, juga kelewat awas dengan segala kabar yang dikatakan Taehyung dari detektif juga kepolisian perihal kabar terbaru atas kasus penculikan Seokjin, tapi selebihnya Namjoon sudah bisa berinteraksi secara normal.

" ... Tae?" Namjoon sedang berdiri memandang ke kejauhan melalui pintu kaca besar yang mengarah ke danau di sana. Membiarkan cahaya matahari menerpanya.

"Tunggu sebentar," jawab Taehyung segera berpamitan ke ujung sambungan ponsel, mengucap perpisahan dengan nada lucu ke Seonu juga salam sayang ke Sora, lalu menghampiri Namjoon.

"Ini karma buatku, Tae."

Taehyung yang diajak bicara mengerjap maklum, dia menduduki lengan sofa, menyilangkan lengan di depan dada, menatap Namjoon dari sana. "Karma?"

Namjoon mengangguk. Jemarinya terangkat untuk menyentuh permukaan kaca. Di bayangan sendu yang membalasnya, Namjoon bisa melihat di kejauhan saat Seokjin duduk memunggungi, menungguinya dari anjungan kayu sampai selesai berenang di danau. Semua terlintas amat jelas di kedua mata Namjoon, sampai kembali membuatnya berembun.

"Aku ... memimpikan Seokjin, tapi seseorang dari masa lalu, terus mengusiknya. Memaksaku mengingat, dosa besar yang telah kubuat."

Taehyung tidak penasaran, atau kaget. Dia sudah tahu apa dan siapa yang tengah dimaksud, tapi tidak menyela. Dia membiarkan Namjoon mengatakannya lagi, setelah kemarin-kemarin. Biarlah. Asal Namjoon lega.

"Dia, persis seperti Jungkook. Ceria. Cerdas. Manis. Juga serba bisa. Tariannya indah, begitu pun suaranya. Aku segera menyukainya dan berjanji akan membuatnya meraih mimpi." Suara Namjoon sudah lebih tenang kali ini. Tidak lagi tersendat menyedihkan seperti sebelumnya. Taehyung mengamati gerakan tangan yang perlahan mengikuti alur kata-kata empunya.

Namjoon tersenyum kecil saat proyeksi ingatannya menampakkan Seokjin yang terkejut karena mendadak ditarik turun untuk ikut berenang dengannya di danau. Riuh gelak tawa juga berisik kecipak air, diresapi Namjoon teramat sangat. Seolah membantunya agar sanggup mengolah kalimat dengan baik.

"Aku sungguh-sungguh bersemangat membuatkannya lagu demi lagu. Menyusun lirik demi lirik, juga memutar nada demi nada sampai pemikiran kami sama. Selaras. Sampai membuahkan karya-karya sempurna." Namjoon tak lagi menyentuh permukaan kaca, jemarinya terkepal, turun ke sisi tubuh. "Kami sangat dekat dari sana. Dia memosisikanku sebagai kakak juga sahabatnya. Dia sangat manja. Dan, karena hasil usahanya yang selalu memuaskan, aku tak keberatan sama sekali diperlakukan seperti itu. Aku senang saat dia juga senang, dan sedih saat dia sedih. Dari sana, perlahan tapi pasti, batas di antara kami memudar. Sesuatu yang harusnya kucegah, kucermati, tapi berujung kulanggar, hari demi hari tanpa kusadari. Sampai semua terlambat."

Namjoon tidak lagi menatap ingatan bahagia di bayangan pandangan, tapi semua kenangan pahit itu yang melintas. Taehyung masih diam dalam posisi yang sama.

" ... kami, melewati batas. Tidak. Aku. Aku yang membiarkannya demikian, ingat? Aku terlalu naif. Menganggap semuanya bisa kuatasi, kukendalikan. Nyatanya? Dia terlanjur menganggap semua interaksi yang terjadi adalah hal serius. Emosi mulai menginterupsi kinerja kami. Aku pertama kalinya kecewa akan hasil yang dia berikan. Aku yang selalu menginginkan kesempurnaan. Merasakan kegagalan bukan pilihan dalam kamusku, jadi, aku marah. Aku murka padanya. Seorang yang kuagungkan dan kupuja sepenuh hati sebelumnya."

Honne | NJ √Where stories live. Discover now