21. Krisis

349 64 5
                                    

"Hati-hati Johny."

Pria itu hanya menghabiskan 3 dari 14 hari liburnya bersama sang kakak dan juga sang sahabat tercinta. Walau berat rasanya meninggalkan dua manusia nan sudah sangat mengenalnya luar dalam itu, namun Johny tetap bisa tersenyum tegar, sebab sebentar lagi ujian akhir semester tiba dan mereka bisa bertemu lagi di rumah.

"Ketemu di rumah nanti," kali ini suara Sam yang terdengar sebelum Johny masuk ke dalam jalur masuk kereta.

"Makasih Bang, makasih Vicky."

Johny memeluk Sam dan Vicky secara bersamaan, layaknya tiga saudara kandung yang sedang saling menitipkan salam rindu satu sama lain. Sampai akhirnya Johny menghilang dibalik pintu kereta yang telah ia masuki, maka kembalilah Vicky dan Sam berdua lagi sekarang.

Walau dengan suasana yang berbeda.

"Habis ini Vicky ngapain ya?" Gumam gadis itu sembari berjalan begitu saja melalui Sam yang masih berdiri di titik mereka tadi. Mendengar gumaman itu, maka Sampun mendekati Vicky dan ikut berdiri disamping gadis itu dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada, mengulum bibir seraya menatap langit dengan tatapan ikut berfikir.

"Masakin gue spaghetti mungkin?" Jawab Sam jahil.

"Ish!"

"Eh, inget, kartu permintaan gue masih ada dua lagi sama lo." Belum sempat Vicky mengomel jauh, tiba-tiba Sam sudah mengacungkan jari telunjuknya kepada Vicky, mengingatkan gadis itu pada salah satu perjanjian sederhana mereka yang ternyata berekor panjang seperti ini.

"A~ah! Nyebelin!" Vicky menghentakkan satu kakinya diatas lantai, lalu berkacak pinggang menatap pria disampingnya ini, "Tapi kan nanti temen-temen Vicky mau ke apart Vicky, kasihan Kak Sam harus masak spaghetti sendiri, wle!" Ia menjulurkan lidahnya jahil, merasa puas bisa mengelabuhi kakak dari sahabatnya itu.

"Ya gak apa-apa, kalau bisa makan bareng-bareng kenapa enggak?" Alih-alih merasa kalah, Sam justru bisa memberikan jawaban enteng akan hal tersebut dan berlalu meninggalkan Vicky sendiri.

"A-apa? Makan bareng?" Terlihat Vicky masih mencoba mencerna semuanya sendiri.

✳✳✳

"Lo berapa lama disana?"

Aysha nan tengah melihat toko-toko disekitarnyapun sontak menoleh kepada sosok pria disebelahnya ini sebelum menjawab. "Selama liburan semester," jawab Aysha yang diangguki kepala oleh Jayden. "Eh, tapi gue gak UAS di kampus juga, soalnya nilai UAS gue di konversi sama kegiatan ini." Ucap wanita itu lagi yang diangguki kepala oleh Jayden.

Sore ini keduanya nampak berjalan-jalan disekitaran kawasan perbelanjaan dekat apartemen Aysha. Tentu dengan troley belanjaan kebutuhan Aysha yang di dorong oleh gadis itu sendiri--sebab ia menolak Jayden yang hendak membantu--serta Jayden yang berjalan disampingnya.

Pusat perbelanjaan yang mengunsung tema outdoor ini sangatlah menarik di mata para mahasiswa yang tinggal dikawasan sini. Sudah harganya terjangkau, suasana di sore harinya pun terasa nyaman untuk dijadikan tempat bersua ria sembari berbelanja, atau mungkin minum kopi pada kedai-kedai yang tersedia disana.

"Gimana perasaan orangtua lo pas tahu lo keterima disana? Senang kah? Atau justru sedih karena lo gak bisa pulang ke rumah buat liburan?" Tanya Jayden lagi untuk membuka topik baru diantara mereka berdua sore ini.

"Hm, mereka selalu dukung apapun keputusan gue sih, jadi mau sedih atau enggak, asalkan untuk masa depan pasti mereka fine-fine aja. Soalnya ketemu mama sama papa bisa lain kali, tapi ke beauty boutique belum tentu."

"Benar juga," respon Jayden langsung.

"Lo sendiri rencana liburan kemana?" Tanya Aysha kali ini.

"Disini-sini aja. Orangtua gue masih diluar kota sampai akhir tahun, Sam pasti pulang ke rumahnya sama Vicky, temen-temen gue di kelas juga banyak yang rencananya mau selesain skripsi di rumah masing-masing." Jayden menceritakan itu semua dengan lengkungan yang tak pernah surut dari wajahnya. Kendati begitu, entah mengapa Aysha bisa merasakan kekosongan yang mungkin tanpa sadar Jayden alami saat ini.

MR. PRANKSTERWhere stories live. Discover now