42

1.5K 147 4
                                    

✨ Ara

Satu bulan sudah kami mengantar putri cantik kami ke pembaringan akhirnya, sekarang yang sering kulakukan adalah menatap wajah indahnya yang sempat diabadikan oleh Abe dengan kamera ponselnya.

Seperti saat ini, aku memandangi wajah Ella, putri kami yang sedang berbalut selimut merah muda saat kali pertamanya lahir ke dunia.

Aku pun tidak bisa memilih kata lain selain lahir, apakah orang yang lahir dalam keadaan tidak bernyawa tetap bisa dikatakan terlahir?

Tiba tiba aku merasakan sebuah tangan melingkar pada pinggang ku kemudian sebuah dagu menopang di bahuku.

Ya, itu Abe kami masih sama sama belum percaya dengan apa yang terjadi tapi di lain sisi kami juga masih berusaha saling menguatkan.

"Ayo kita makan Ra" bisiknya.

Aku buru buru menyimpan ponselku dan sekuat hati memberikan senyuman untuk membalas ajakannya.

Aku tahu mungkin Abe akan merasa aku hanya pura pura tegar tapi jujur saja untuk saat ini tidak ada hal positif lain yang bisa aku lakukan selain menegarkan diri.

"Baunya harum, maaf ya Be aku belum bisa bantu kamu masak"

Dia nampak tersenyum kemudian mengecup puncak kepalaku "Easy Ra, aku sudah sangat bahagia kalau kamu mau memakannya" ujarnya sebelum dia duduk di kursi seberang bangkuku.

Kalian mungkin mengira Abe lebih bisa melewati segalanya dibandingkan aku, nyatanya tidak.

Pria yang dulu ku anggap brengsek ini nyatanya yang lebih sering menangis di tengah malam kala aku sudah berhasil tertidur pulas, mungkin saat itu Abe berpikir aku sudah tertidur seperti biasanya, tapi hari itu di keliru.

Aku berhasil mendapatinya menangis sesunggukkan di pantry, tubuh tegapnya menjadi ringkih dan hanya mampu bersandar pada dinding mini bar pantry.

Dia memeluk tubuhnya sendiri bahkan sampai meringkuk seperti seorang janin yang sedang mencari perlindungan di dalam rahim ibunya.

Dan itu hampir setiap hari Abe lakukan, tapi sebelum dia meringkuk menangis kesakitan dia selalu menyalahkan dirinya sendiri dan itu berhasil menciptakan lebam dibeberapa titik tubuhnya di keesokan paginya.

Mendapati kenyataan seperti itu hatiku benar benar makin teriris, nyatanya bukan hanya aku yang kehilangan, ada Abe yang juga tersiksa dititik ini.

Aku paham jika kami terus menerus berada di lingkaran kelam ini tidak akan pernah ada usainya jadi aku mencoba untuk memberikan sebuah opsi yang mungkin saja dapat membuat kami kembali fokus ke kehidupan kami pada umumnya.

"Be...." Panggilku dan dia langsung memberiku perhatian dengan menghentikan kegiatannya yang sedang mengambil makanan.

"Kenapa Ra? Ada yang sakit?" Tanyanya was was.

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum berharap senyuman simpulku mampu memudarkan rasa khawatirnya.

"Aku beberapa kali berpikir tentang hal ini dan aku rasa bisa kita coba"

"Apa?"

"Gimana kalau untuk sementara kita batalkan dulu rencana pernikahan kita" ujarku pada akhirnya.

Akhirnya aku berani mengutarakan opsi yang terus bermunculan di pikiranku selama dua Minggu terakhir ini.

Abe nampak terdiam, pandangannya benar benar lurus padaku tapi sebelum dia bicara aku lebih dulu memotongnya.

"Aku pikir kita berdua perlu pikiran yang stabil untuk meneruskan ke jenjang yang lebih serius"

"Dan keadaan kita saat ini menurutku kurang mendukung, aku gak bisa bayangin di kemudian hari kita akan saling menyalahkan jika ada sesuatu hal yang kurang mengenakan"

"Ini hanya opsi ku Be, aku hanya mencoba mengutarakannya dan mengajakmu berdiskusi tentang ini"

"Semoga kamu mau mempertimbangkannya dulu dan membahasnya" imbuhku.

Abe  [END]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα