31. Rum

4 2 0
                                    

Sambil membunyikan bel, aku tersadar bahwa sudah lama sekali sejak aku bertandang ke apartemen Rum. Biasanya aku akan membawa sekantong camilan dan minuman kaleng. Tidak pernah kukira akan datang dengan sebuntal amarah dan jeritan seperti ini. Aku akan menunggu dengan wajah ceria sampai Rum membuka pintu. Kali ini, aku menunggunya dengan wajah kusut. Sahabatku ada di dalam, dengan pakaian santai dan rambut yang disanggul asal.

"Will?"

Aku mencercanya tanpa tedeng aling-aling. "Kenapa kau cerita?"

Rum kaget, tentunya, seperti orang pada umumnya jika berhadapan dengan kondisi seperti ini. "Apa?"

"Tentang Ash," suaraku melemah. Rum awalnya melongo, tapi kemudian percikan di matanya menandakan ia paham apa yang terjadi. Aku semakin marah. "Kenapa kau ikut campur, Rum? Aku bilang aku yang akan bilang!"

"Kapan?" Rum menghujamku dengan satu kata. Ia mengatur napas. "Aku tidak bisa tidak menghiraukan ibumu. Kau telah membuatnya sangat khawatir. Dia berkali-kali meneleponku dan bahkan mengajakku bertemu. Dia menanyaimu seolah kau masih hidup tapi hilang entah ke mana. Apa kau sadar?"

"Ya. Dan kau telah lebih menyulitkanku."

Rum menggeleng tak terima. "Will-"

"Rum," potongku. "Kau selamanya orang yang kupercaya. Kita sudah bersahabat sejak kecil. Aku menceritakanmu semua yang kualami, tapi kenapa kau masih tidak mengerti? Aku hanya ingin sendiri. Aku belum siap menghadapi dunia ini, menghadapi orang tuaku. Apa kau tahu kenapa aku diam? Karena jika aku membuka mulut, aku akan lebih melukai semua orang dengan kata-kataku. Aku tidak akan bisa mengontrolnya. Aku tahu itu."

Dadaku bergemuruh. "Tapi KAU terus memaksaku! Kau terus memaksaku melakukan hal-hal yang kuhindari. Aku tahu," aku menekan setiap silabel, "bahwa aku tidak bisa terus-terusan menghindar, a-ku ta-hu. Tapi sekarang ini aku butuh waktu untuk bernapas, untuk bersandar. Aku mau bergerak atas kemauanku sendiri. Tapi kau-"

Bernapas tidak pernah terasa sepedih ini.

"Kau pikir kau mendorongku naik?" Aku menggeleng sinis pada Rum. "Kau mendorongku jatuh lebih dalam."

Aku terhuyung sendiri ke tembok koridor. "Aku cuma ingin sendirian. Beri aku waktu sendirian."

"Kau tidak bisa sendirian."

"Aku tidak minta izinmu!" Aku menjerit. Rum menegang. Tidak pernah aku melihat wajahnya sepucat ini. Persis patung pualam yang dipahat untuk melambangkan tragedi. Hanya mulutnya yang bergerak. "Kita semua bingung apa yang terjadi padamu, Will. Termasuk kau sendiri."

Aku terhenti dari isakan, lalu berdiri. "Selama ini aku bercerita padamu karena kau selalu memberikan rasa aman, tapi kau sama saja dengan yang lain. Kau ingin aku hidup sesuai standarmu."

Dengan kalimat penutup itu, aku memantapkan kaki. Langkah-langkah gusar menjejak di lantai koridor apartemen.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/2yQHGOY

SemidevilWhere stories live. Discover now