11. Jangan Mengabaikanku

24 4 0
                                    

Sekalipun aku sukses di siang hari, aku merasa gagal di malam hari. Kedamaian yang kurasakan hanya bertahan sampai matahari terbenam. Setelahnya, ia menyatu dengan karbondioksida saat aku kembali ke kamar. Begitu pintu ditutup, aku merasa kesepian. Aku akan mulai berguling-guling di kasur, duduk termenung di dekat lampu tidur, lalu kembali berbaring namun dengan mata terbuka hingga tiga pagi. Aku merasa seperti menjalani kehidupan ganda: siang meditasi, malam overthinking.

Pikiranku yang tidak bisa diam menyimpulkan bahwa insomnia ini disebabkan oleh keputusanku beberapa minggu lalu, yang digagalkan oleh Ash. Setiap kali aku mengingat hari itu, aku merinding sendiri. Dan bersyukur. Bersyukur karena Ash menyelamatkan nyawaku. Aku bersyukur diberi kembali kesempatan.

Aku masih ingin hidup.

Faktanya, tidak ada orang yang mau mati sekalinya dia hidup. Orang mencari ramuan keabadian, bukan ramuan mati muda. Di saat aku memutuskan untuk mengakhiri hidup, aku tidak menginginkan itu sebenarnya. Aku tidak pernah berniat bertindak seputus asa itu. Tetapi, waktu itu, apa lagi pilihan yang kupunya? Semua jalan terasa buntu dan tidak ada bala bantuan. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana.

Aku biasanya tidak keluar kamar sekalinya menyentuh kasur, tetapi malam ini aku merasa lapar. Jam digital di nakas menunjukkan waktu pukul 2:30 pagi. Mungkin aku bisa makan mie instan.

Aku menyelipkan kaki ke sandal rumah, lalu berjalan ke dapur. Hanya beberapa lampu bercahaya temaram yang dinyalakan di markas. Di luar gelap gulita. Dinding kaca dapur pun menjelma menjadi kaca hitam besar yang memantulkan jelas refleksiku. Aku sedikit takut untuk mengarahkan pandangan ke kaca, jadi sebisa mungkin aku fokus pada laci dapur.

Ada cokelat panas instan di laci atas wastafel. Aku mengaduk bubuknya dengan secangkir air panas. Ekor mataku iseng melirik dinding kaca dan-

"Mama!"

Sendok cangkir jatuh dengan suara dentingan nyaring.

"Will," cegah seseorang. "Ini aku."

Aku takut-takut mengintip ke atas meja dapur. Ash berdiri dengan cengiran lebar. Aku menghela napas paling lega.

"Kau kenapa mengagetkan begitu?" protesku setengah kesal. Yang ditanya hanya terkekeh. "Maaf ya, kau jadi histeris."

"Jelas," ketusku. Dia mirip hantu yang muncul mengagetkan dalam film-film. Rambutnya yang hitam lebat berantakan hingga menutupi mata. Beberapa helainya bahkan mencuat. Dan Ash berdiri kaku di ambang sekat. Aku bahkan tidak dengar ada langkah kaki.

Ash menyugar rambutnya. Wajahnya kini terlihat jelas. Ia duduk di kursi bar. "Aku mendengar suara dari sini, makanya aku cek."

Kepalaku mengangguk-angguk samar, masih kesal dengan kejadian tadi. "Aku tidak bisa tidur, lalu lapar."

Ash mendongak ke arah cangkir. "Tapi kau buat cokelat panas."

Aku mengerjap pada cangkir. "Kalian tidak punya mie."

"Benarkah?" Ash bergerak ke sampingku. "Sepertinya Arbei belum belanja bulan ini."

Ia memeriksa laci bawah sementara aku bertanya, "Arbei?"

"Ya," sahut Ash. Ia kembali berdiri. Ash bersandar pada tepi meja sambil melipat tangan di dada. "Dia yang bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga di sini."

Kami saling bertatapan, lalu rasa canggung mulai muncul. Aku menjauh seinci darinya. Ash seperti merasakan hal yang sama denganku. Bibirnya terbuka. "Mau kutunjukkan sesuatu?"

Aku mendadak tergagap. "Apa?"

"Kau mau?"

Aku mengerjap dua kali, lalu menurunkan daguku. Ash menganggap itu isyarat yang berarti 'iya'. Bibirnya tersenyum sumringah. Tangannya balas berisyarat agar aku mengikutinya.

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang