38. Eglantine

4 2 1
                                    

Aku menyadari bahwa sekalipun aku di Santorini, sebagian besar waktuku dihabiskan di markas. Kini, dengan kondisi fisikku yang rapuh, aku menghabiskan waktuku hanya di ruang rawat. Keadaan bertambah buruk.

Ini hari kedua dan kepalaku masih terasa pening. Meskipun begitu, aku sudah bisa bolak-balik dapur sendirian. Semua orang pergi dan aku sedang mengaduk teh hangat. Pantulan refleksi di pintu kaca dapur menunjukkan seberapa kacau diriku. Rambut tak disisir berhari-hari, tergulung asal dalam jepitan besar. Muka yang kusam dan pucat, kaos yang kusut. Lebih dari itu, sinar mata yang mendung.

Orang bilang 'mata adalah jendela hati'. Jika mataku tampak redup dan tak bernyawa, hatiku berarti tak bergairah. Arti hidup semakin terkikis. Aura diri semakin memudar. Bagaimana menghidupkan mata ini?

Ash sudah pernah memberiku saran tentang burung phoenix. Dia membakar diri ketika sudah terlalu tua, lalu lahir kembali dari abunya.

Jatuhlah, lalu melesat lebih tinggi.

Itu katanya. Dan kurasa, nasihat Ash cocok dengan keadaanku yang semakin memburuk. Aku sudah lelah menyembunyikan luka dan tersenyum palsu di depan semua orang. Aku sudah lelah berbohong pada diri sendiri bahwa aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ini yang terbaik. Aku sudah lelah menjadi pemain bertahan. Aku ingin jadi penyerang.

Sepertinya, tidak ada salahnya bagiku berjalan-jalan di sekitar markas. Udara luar kali ini terasa berbeda. Pemandangan alam terlihat lebih memukau. Aku berdiri di sisi pembatas jalan rendah. Dari ketinggian ini, aku bisa menyaksikan lalu-lalang keledai-keledai warga lokal di antara para turis.

Seingatku, ada toko bunga lokal tak jauh dari markas, kira-kira dua ratus meter. Aku berjalan ke sana dan merasa puas karena tebakanku benar. Ibu-ibu penjaga toko menanyaiku dalam bahasa Inggris. Aku bertanya padanya apa dia punya jenis bunga tertentu. Dia bilang punya. Aku ingin seikat.

.
.
.
.
.

Begitu aku kembali berbaring di ruang rawat, sore sudah singgah. Langit berlapis-lapis kemerahan. Semakin mendekati bumi, semakin pekat warnanya. Matahari terbenam, bagian paling merona dari alam semesta.

Singgasana matahari terbenam adalah di sini. Di pulau romantis yang dibakar warna biru dan putih. Biru adalah milik Santorini. Laut Aegean mengelilingi daratannya, menyimpan sejuta kisah kasih yang datang ke sini. Pulau ini adalah keanggunan, godaan, cinta yang telah lama dinanti. Ia lalu menjelma dalam wujud orang yang kita puja.

Pertama kali Ash mengajakku ke sini, aku juga melihat matahari terbenam, tepat sebelum dia membawaku kembali ke Boston. Sewaktu di Oia, kami duduk di restoran sambil menikmati matahari terbenam. Di bukit rahasia Ash, dia menciumku di bawah matahari terbenam. Di setiap matahari terbenam yang kusaksikan, ada Ash.

Ash adalah jelmaan pulau Santorini untukku. Dia hadir bak kehidupan kedua. Menjemputku ketika aku berjalan menuju kematian. Tepat di saat roh hendak meninggalkan raga.

Aku merasa bumi dijungkirbalikkan di hadapanku. Bersamanya, aku menyeberang ke harapan baru. Di dunia yang belum pernah kukenal, sepasang mata karamel dan senyum gulalinya adalah daya tarik utama yang tak bisa kuabaikan. Tetapi kemudian, dia menjadi terlalu manis hingga lidahku mulai mengecap rasa pahit.

Ash sudah membuatku bingung. Dia mengajarkanku untuk menjatuhkan diriku hingga dasar agar aku bisa naik. Tapi dia tidak ingin aku terluka. Aku sudah memutuskan, aku akan terluka.

"Kau merasa baikan?" Itu dia, masuk ke ruang rawat setelah tiga kali mengetuk pintu. Pakaiannya serba hitam dan rambutnya berantakan. Dua kancing atas kemejanya terbuka.

"Will, kau tidak apa-apa?" Ash duduk di sampingku. Tangannya menangkup sebelah tanganku. Sementara aku, merenung lelah ke depan. Ash memanggil sekali lagi, namun aku membebaskan tanganku darinya. Aku meraih sesuatu dari bawah nakas. Itu seikat bunga yang tadi kubeli. Bunga eglantine. Sweet brier Sang Ratu. Aku menyerahkan ikat bunga itu pada Ash. Ash menerimanya dengan alis berkerut. "Kenapa kau memberiku bunga?"

"Kau bilang jatuhlah, lalu melesat lebih tinggi." Aku tersenyum padanya. "Bunga ini jawabanku."

Ash masih duduk bingung di sampingku. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tak ada sepatah kata yang keluar. July March memanggilnya dari luar kamar. Ia menengok ke pintu, lalu kepadaku. Ash berjalan keluar sambil membawa ikat bunga itu.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/1fjNeUi

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang