10. Warna Api Kompor Gas

31 5 0
                                    

"Kita bisa kecelakaan jika kau terus melirikku."

Ash mendengus geli saat kuhempaskan punggung ke sandaran jok. "Sulit untuk fokus saat semobil denganmu."

Aku melengos tajam ke jendela mobil. Ash langsung mencecarku. "Kenapa kau mendadak melirik jendela? Apa pemandangan di sebelah kirimu membosankan?"

Aku menoleh kesal padanya. "Kenapa kau membuatnya salah paham?"

Ash melirikku sekilas, tapi aku bisa yakin dia sedang bersenang-senang, dilihat dari sudut bibirnya yang melengkung tipis. Ia balas bertanya tanpa menoleh. "Apa temanmu bertanya macam-macam tentang hubungan kita?"

Hubungan? Aku mendelik semakin jengkel padanya. Lihatlah, dia bahkan tidak ada niat untuk mengklarifikasi. Sekalipun tenggorokanku sudah sangat gatal karena sumpah serapah, aku hanya mendesah lelah.

Jalanan sedikit ramai di Jumat pagi, namun tidak menimbulkan kemacetan. Mobil Ash melaju tenang di jalanan. Deru mesinnya mengisi kekosongan di antara kami. Ash memacu kendaraannya ke jalan tol. Mobilnya lalu ke jalur satu arah yang sepi. Dahiku berkerut padanya.

"Kita keluar dari sini." Seolah Ash bisa menebak kebingunganku. Tiba-tiba, ia menginjak keras pedal gasnya. Aku terdorong ke sandaran jok. Pemandangan luar berubah menjadi garis-garis cahaya kilat. Aku menjerit. "Ash!!"

"Percaya saja padaku, Will. Kita akan baik-baik saja." Suara Ash menengahi suara deru mesin. Ia tak sedikit pun mengurangi kecepatan. Di ujung jalan, aku melihat sebuah kelokan tajam. Mataku membulat sempurna. "Ash! Belok kiri!!"

Ash tak mendengarkan. Sepasang matanya fokus pada jalanan. Tiba-tiba, cahaya menyilaukan menghalangi pandangan kami. Habis sudah riwayat.

Aku menutup mata. Tidak kuat menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jantungku berpacu cepat. Mobil ini terasa melayang. Pendar cahaya menembus kelopak mataku menghasilkan remang-remang cahaya kemerahan.

Kusangka, aku akan mendengar suara tabrakan keras, namun segalanya hening. Diam. Aku membuka mata. Cahaya menusuk pupilku. Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kami sudah kembali berkendara dengan kecepatan normal. Di jalanan yang berbeda. Ash melirikku lewat kaca dasbor. Bibirnya menahan seringai. "Kita tidak mati, Will. Kita di Santorini."

Aku begitu tercengang sampai posisi dudukku berputar 90 derajat padanya. "Sungguh?"

Ash mengangguk-angguk. "Tadi itu kita berteleportasi."

"Tapi kenapa beda seperti yang sebelumnya?"

Mentalku masih terguncang karena kejadian barusan. Bisa kurasakan detak jantungku masih berusaha mengatur kecepatan.

"Tadi itu kita lewat portal. Karena aku membawa mobil ini, kita tidak bisa berteleportasi hanya dengan auraku. Kalau kau tidak percaya, cium aku."

Aku tidak perlu melakukan itu. Mendengarkan denyut nadiku saja sudah sebuah bukti yang akurat. Dan melewati portal adalah ide yang buruk.

Jauh di sana, dari jendela mobil mewah ini, Laut Aegean terbentang luas. Beriak dan berbuih di beberapa titik yang mendekati daratan. Burung-burung bersayap lebar mengepak bebas di angkasa biru. Putihnya awan melatari siluet mereka.

Ash memarkirkan mobilnya di sisi jalan sebelum kami turun ke jalanan sempit di antara rumah-rumah lokal. Ash turun lebih dulu. Ia bergerak dengan cepat, membukakan pintu mobil untukku, lalu memanduku turun tangga dengan sebelah tangannya di tanganku. Sementara itu, aku pasrah saja mengikutinya.

Markas kosong. Aku celingukan pada setiap celah ruangan yang bisa kuselidiki, penasaran siapa tahu ada July atau yang lainnya. Nihil. "Di mana yang lain?"

SemidevilWhere stories live. Discover now