7. Asheraf Aden

30 7 0
                                    

Rum adalah orang pertama yang aku hubungi jika aku punya masalah. Dia yang pertama aku kabari jika aku menghadapi kesulitan. Dia satu-satunya yang aku mintai pendapat dan solusi. Di hari Minggu ini, dia yang aku ajak belanja bulanan bersama.

"Bagaimana keadaan di rumah orang tuamu?" Rum berbasa-basi sambil memasukkan susu kotak stroberi ke troli belanjaan kami. Aku menyandarkan siku di pegangan troli. Rodanya maju-mundur saat aku mulai memainkan kaki. "Sepertinya baik."

Rum melirik sekilas sebelum kembali ke deretan rak keju. "Kau belum pulang?"

"Belum."

Rum mengernyit saat mendengar jawabanku. "Jadi kau belum cerita soal kejadian kemarin?"

Asap tipis dari rak pendingin merayap di antara Rum dan aku. Sepasang mata hazel Rum menatap lurus. "Will."

Dia baru memanggil, tapi aku tahu apa kalimat selanjutnya.

"Kau harus cerita. Segera. Ini masalah penting dalam hidupmu."

Aku mengangguk. Rambutku jatuh di sisi pipi. Rum menarik lembut ujung troli sebagai isyarat untuk bergerak maju. "Sebenarnya, sejak beberapa bulan yang lalu, kau mulai menangis tiap kali berkata kau lelah dengan kehidupan. Kalau kita mundur lagi, kau bahkan sudah mengatakannya semenjak kita masuk kuliah."

Aku mendorong troli dengan lesu. Seorang pegawai swalayan lewat sambil membawa dua dus kecil.

"Aku juga sudah sering mengingatkanmu bahwa kunci untuk bahagia adalah dekat dengan keluarga. Kau bahkan tidak mau dekat dengan keluargamu."

Deretan sayur-mayur di seberang rak pendingin mendengarkan tiap kata Rum dalam hening. Aku melempar pandangan ke lantai. Rum, aku bukannya tidak ingin dekat. Aku juga sudah sering mengatakan alasannya padamu.

"Aku bingung, Will. Hal-hal yang sebenarnya mudah untuk dilakukan malah sulit bagimu."

Segalanya yang mudah bagimu belum tentu mudah bagiku. Bukankah standar semua orang berbeda?

"Contohnya, kau jarang mengobrol. Padahal, mengobrol, kan, hal wajar. Sekarang, kau jarang pulang."

Rum, aku bukannya tidak ingin, tidak mau, tidak berniat, tapi aku hanya merasa janggal. Aku merasa aneh. Hubungan orang tua-anak ini sekaku batang pohon jati. Aku tidak bisa mendadak melucu atau memeluk saat nanti pulang. Aku bukan kau. Kehidupanku bukan kehidupan yang kau jalani. Kenapa kau terus menyamakan kondisi kita?

"Minggu ini kau pulang, ya, Will." Rum menoleh padaku yang sibuk menggosokkan sepatu ke lantai. Aku mengangguk lesu, selesu tangkai bayam di ujung deretan sayuran.

Kami bergerak ke bagian daging segar. Kedua mataku berkeliling malas sambil menelan sebal nasihat Rum. Di ujung rak makanan instan, seorang pemuda memilah-milih jenis mie. Saat aku tak sengaja meliriknya, mataku membulat. Pemuda itu balas melirik. Bibirnya yang merah melengkung ke atas.

"Will, coba pilih, daging cincang atau fillet?"

"Ash?"

Aku tak sempat memerhatikan saat Rum mengangkat dua plastik daging lalu mengernyit bingung. "Maksudmu smoked beef?"

Aku tak menjawab, namun kudengar Rum meminta smoked beef ke staf daging.

Ash berdiri mantap dengan kaos putih dan celana kargo. Ia mengangkat keranjang belanjanya yang terisi setengah, lalu mengedip sebelah mata. Napasku spontan tercekat saat Rum menggandeng lenganku. "Ayo ke kasir."

Aku berusaha mengabaikan tatapan Ash yang mengikutiku. Pemuda itu menghilang di antara rak-rak swalayan. Rum dan aku menurunkan belanjaan ke meja kasir satu persatu. Sementara itu, ekor mataku sibuk berpatroli.

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang