20. Oia

9 3 0
                                    

Dalam sekali waktu, aku bermimpi bertani. Kusemai bibit mawar di ladang hijau. Kusiram mereka dengan mata air pegunungan. Namun, setelah kuncup-kuncup merahnya merekah indah, durinyalah yang pertama kali menyambutku. Lebah-lebah lalu beterbangan mengisap intisarinya hingga ke akar. Tak sedetik pun aku sempat mencium aroma manis mawarku. Tak pernah, meski seujung jari, aku merasakan kelembutan kelopaknya. Mereka gugur sebelum panen. Begitulah aku menangisi waktu dan berkata, "usaha tidak pernah mengkhianati hasil adalah omong kosong!"

Tetapi lebah dan cuaca adalah faktor eksternal. Mereka adalah variabel yang tak bisa diprediksi. Namun duri itu adalah buah pemikiranku. Mawar itu sendiri adalah mimpiku tersayang yang bernasib malang. Aku membenci diriku.

"Will, kau bisa melihatku?"

Sebuah suara mengundangku untuk membuka mata. Sebas membungkuk di atasku, memeriksa kedua pupil mataku. Dia terlihat berbeda dari yang terakhir kulihat. Kini rambutnya dikuncir dan ia memakai jas putih laboratorium.

"Apa yang kau rasakan?" tanyanya lagi. Kedua tanganku memegangi kepala. "Sakit."

Suaraku terdengar serak dan lemah. Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku berbaring di kamar ini dan Sebas dan July kelihatan seperti dokter? Kenapa aku diinfus?

"Di mana ini?" aku mengernyit pada silau cahaya matahari dari jendela.

"Kau masih di markas. Ini kamar unit kesehatan kami. Kau belum pernah ke sini." July menjawab, lalu mendekatiku. Sebas mengecek cairan infusku. "Kau bisa melihat dengan jelas, Will?"

Bahkan untuk sebuah anggukan membalas July, leherku terasa kaku dan tegang. July memegangi dahiku. "Tidak apa-apa, beristirahat sepuasnya."

"Apa..." aku harus menelan ludah untuk membasahi tenggorokan, "...apa yang terjadi?"

"Kau pingsan," jawab July, lalu mendesah. "Maafkan kami, Will. Tubuhmu belum terbiasa dengan perubahan auramu, ditambah lagi para iblis malam itu juga memberikan efek menekan pada auramu, jadilah kau kelelahan drastis. Tapi kau tak perlu khawatir. Kami di sini sampai kau pulih."

"Ash?" tanyaku tanpa sadar. Sebas berhenti dan saling pandang sesaat dengan July sebelum gadis itu menjawab, "Ada di luar."

"Cepat sembuh, ya Will," ucap Sebas, lalu mereka berdua meninggalkan ruangan.

Langit-langit ruangan menatapku lewat lukisan peristiwa zaman Auchlarung. Sinar matahari tumpah lewat jendela, lalu menciprati setiap sudut ruangan dengan tinta krem kuning yang pucat dan hangat. July benar, aku belum pernah ke sini, kamar pasien VIP. Sofa dan sepasang kursi rendah di sudut dekat jendela kelihatan nyaman. Televisi dipasang di dinding depan ranjang. Remotnya ada di dekat situ, namun tak sedikit pun aku berdaya untuk menggerakkan kaki.

Ash masuk. Ia mengenakan sweter hitam dan celana cokelat longgar. Setelan yang simpel, kontras dengan air mukanya. Semakin ia mendekat, semakin aku menangkap berbagai ekspresi: seraut kecemasan, seraut lagi perasaan lega, seraut rasa bersalah, seraut lagi rasa ketakutan, dan segenggam kasih sayang.

Bibirnya patah-patah mengembangkan senyum. Sandalnya meninggalkan bunyi gesekan halus di lantai. Ia berdiri diam di sisi kananku, dengan kedua tangan di saku celana. Sepasang matanya nampak goyah.

"Apa kau merasa baikan?" Ash bertanya dalam satu embusan napas. Tanpa sadar, aku menggeleng lemah. Sudut-sudut bibir dan mata Ash melengkung rileks.

"Hari apa ini?"

Aku berusaha duduk di ranjang. Ash membantu. "Hari Senin. Kau pingsan selama delapan jam. Sama seperti tidur. Sekarang sudah lewat tengah hari."

Mendengar penjelasan Ash, mataku terbuka lebar. Dadaku tertarik ke depan.

SemidevilWhere stories live. Discover now