44. Kenapa Perpisahan Terasa Menyakitkan?

7 1 1
                                    

"Maka, dalam rapat ini, kita putuskan kerja sama telah berakhir."

Abel berdiri di depan meja rapat. Sajda, Arbei, Sebas dan Ash duduk dengan muka lesu dan siku bersandar di atas meja. Satu kursi telah hilang di antara mereka. Satu suara yang telah menemui mereka selama tiga tahun ini. Arbei berkali-kali melirik kursi kosong di samping Ash, yang biasanya diisi July. Aku mengerti. Semarah apapun mereka pada July, mereka tidak bisa menghilangkan perasaan emosional tiap kali mengingat gadis itu. Mereka masih tidak rela melepas July dari tim.

Aku pun telah terbiasa dengan kehadiran July. Aku ingat, pertama kali datang ke markas, July-lah yang pertama tersenyum padaku. Tak kusangka kami berakhir dengan konflik seperti ini.

"Penyelesaian telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban semasa sisa dan setelah kontrak telah diselesaikan dengan penyesuaian. Oleh karena itu, saya, Ken Abel, selaku ketua tim, menyatakan pemutusan kontrak dilaksanakan tanpa adanya perselisihan di antara kedua pihak. Apabila perselisihan terjadi di masa mendatang, peninjauan akan dilakukan di hadapan hukum. Bagaimana, hadirin?"

Abel mengedarkan pandangan. Semua orang mengangguk.

"Baiklah. Kalau begitu, pemutusan kerja sama resmi dinyatakan." Abel menyerahkan dokumen yang telah ia tanda tangani. Aku ikut menandatangani. Resmi sudah, tak ada lagi alasan bagiku untuk kembali ke sini.

Itu terjadi lima belas menit yang lalu. Sekarang, aku hanya sedang melamun di rooftop, berayun-ayun malas di ayunan rotan. Seseorang datang mendekat. Aku tersenyum padanya. Sosoknya yang tinggi semampai, dengan potongan rambut pixie dan garis mata yang tajam duduk di bangku panjang. Kedua tangannya menekan pinggiran bangku. Aku berceletuk, "Kau favoritku, kau tahu?"

"Sebuah kehormatan." Abel terkekeh. Kami kembali diam memandangi langit kosong.

"Aku akan kembali ke hidupku," gumamku. Sambil tersenyum padanya, aku berkata, "Tolong bekukan auraku."

Abel mengangguk paham. Ia lama memandangiku. Bibirnya bergetar. Tiba-tiba, ia memelukku, lalu terisak keras. "Aku sangat senang mengenalmu, senang berteman denganmu. Kau juga koki yang hebat."

Aku jadi ikut terisak. "Aku-aku juga sangat senang berteman denganmu. Kau orang yang ramah dan menyenangkan. Kau juga ketuaku. Kau orang pertama yang membuatku nyaman di sini."

Kata-kataku mengalir tersendat-sendat karena isakan yang semakin membuncah. Abel meringis dan menangis di pundakku. Aku mengelus punggungnya.

"Kenapa kalian menangis?"

Aku dan Abel menoleh. Arbei tengah berdiri di ujung tangga. Matanya merah dan buram. Ia menghambur dalam pelukan.

"Aku tidak menyukaimu di awal, tapi Ash tergila-gila padamu dan sekarang aku melihat kau berhati lembut dan rapuh. Kau cuma terlalu sensitif. Maaf jika aku pernah menyinggungmu."

Kami bertiga saling meminta maaf dan sesegukan. Kami, tiga gadis yang pernah berdiri saling berlawanan.

"Andai July ada di sini," celetuk Arbei saat tangis kami sudah reda dan sedang duduk di ayunan rooftop. Ia menyeka pelupuknya.

Abel menimpali. "Benar. Apapun yang dia lakukan, aku tetap merindukannya."

"Aku juga... merindukan July," lirihku, lalu melipat tisu.

"Kenapa kita harus berakhir begini?" Abel memandangi langit. Aku ikut memandangi langit. Arbei juga. Abel mendesah. "Kenapa perpisahan terasa menyakitkan?"

"Kalau perpisahan terasa menyenangkan, orang-orang tak punya alasan untuk bersama." Arbei membuatku dan Abel menoleh takjub.

"Wah, kau puitis," puji Abel. Aku mengangguk setuju. "Akan kumasukkan ke jurnalku nanti."

SemidevilWhere stories live. Discover now