4. Hanya Matahari yang Persis Sama

52 11 0
                                    

"Tutup matamu."

Mataku berkedip. Ia sama sekali tak tampak akan melakukan kejahatan. Permintaannya murni sesuatu yang dibutuhkan. Namun aku juga sama sekali tak percaya pada orang asing. Aku bergeming.

Cahaya menyilaukan datang dari belakang Ash, dari tanah yang kami pijak. Silaunya menghalangi pandanganku. Aku menutup mata. Dunia gelap sekejap. Detik berikutnya aku membuka mata lagi, pemandangan yang kulihat sudah berubah. Hijau rumput digantikan pasir putih. Cekikikan anak-anak digantikan debur ombak. Bangku-bangku taman digantikan bebatuan karang. Apa ini?

Aku memutar pandangan. Ke kanan, ke kiri, ke bawah, ke atas. Hanya matahari yang persis sama. Aku mencari wajah Ash. "Apa yang terjadi?"

Ash tak menjawab, ia hanya menontonku sampai perhatianku kembali teralihkan. Dari kejauhan, suara lonceng gereja menggaung. Sepasang mataku menemukan deretan rumah dengan atap kubah biru dan dinding-dinding putih. Mereka berderet acak mengikuti kontur tebing karang, berdiri kokoh dan menciptakan siluet yang bervariasi. Dari telinga kiriku, aku mendengar Ash mengatakan, "Selamat datang di Santorini, kampung halaman bagi jawabanmu."

Santorini??

Aku menatapnya tak percaya. Aku? Santorini? Yunani? Ash mengedip lambat sambil tersenyum.

Ubun-ubunku terasa terbakar. Aku menunduk untuk memastikan bayanganku. Sandalku bergesekan dengan serpihan pasir di anak tangga berlantai batu. Aku meneliti wujud Ash dari atas hingga bawah, lalu balik lagi ke atas. Dia tampak nyata. Aku menyentuh pipiku. Hangat.

"Perlukah aku mencubit hidungmu?" Pemuda itu tertawa geli. Aku meraup rambutku dengan tangan kiri, tanpa sadar mengacaknya frustasi. Pandanganku kosong. Bagaimana dia melakukannya?

"Aku membawamu berteleportasi," cetus Ash seolah ia mendengar suara batinku. Ia menatapku santai. "Kau pasti pernah dengar tentang itu, kan?"

Apakah ia benar-benar membawaku ke Santorini? Bisakah aku percaya bahwa ini nyata?

"Apa kau manusia super?"

Ash tergelak spontan mendengar pertanyaanku. Bahunya terguncang dan kepalanya tertunduk. Ia tak menjawab dengan sepatah kata, melainkan dengan genggaman lembut di tanganku, membawaku naik tangga. Ash memanduku melewati rumah-rumah berpintu melengkung dan berberanda sempit, terus berjalan mengikuti kelokan tanah berbatu. Sementara itu, aku mencecarnya. "Apa kau alien? Kau punya kekuatan super? Penyihir? Avengers? Avengers itu nyata?!"

Ini tidak bisa dibiarkan. Sejak kemunculannya, berbagai peristiwa tak masuk akal terus kualami. Otakku terasa mengepul. Bahu Ash kembali terguncang dan kepalanya menggeleng kecil, tapi ia tetap berjalan. Dia tidak sedang menipu, kan? Tidak, kan? Aku benar di Santorini, kan? Iya, kan?

Kami terus menaiki tangga dan aku terus merasa takjub. Mulutku tak henti-hentinya bergumam "Wah..." rendah. Seorang pria tua dan keledainya berpapasan dengan kami. Mataku mengamati mereka dengan bangga. Rasanya seperti Julius Caesar baru saja menggantikan bulan Februari dengan namaku. Tanpa kusadari, kami sudah berada jauh di atas dari tempat kami semula.

Ash akhirnya berhenti. Sepasang mataku yang sejak tadi berkeliaran kini terfokus pada punggungnya. Ash setengah berbalik padaku. "Kita sudah sampai."

Aku menaiki tangga hingga berdiri sejajar dengannya. Di depan kami, ada pintu dengan kusen melengkung yang terbuat dari kayu berlapis cat biru tua. Tembok pembatas di sekitarnya bercat putih.

Ash membuka pintu, lalu menarikku masuk ke halaman sempit berlantai batu dan plesteran semen. Sebuah kanopi payung berwarna hijau buih berdiri dikelilingi kursi-kursi kayu. Di belakang semua itu adalah bangunan-bangunan kecil berwarna putih yang bersusun ke atas. Bangunan-bangunan itu bersudut tumpul berbentuk melingkar. Setiap bangunan dihubungkan oleh koridor tangga. Pintu-pintunya sama melengkungnya dengan pintu pagar. Jendela-jendelanya melengkung ke arah yang sebaliknya, ujungnya berpapasan dengan plafon. Aku menganga takjub. Kepalaku mendongak hingga ke puncak bangunan teratas. "Ini rumahmu?"

Ash menggeleng dengan senyum kecil. "Ini markasku."

Keningku bahkan belum selesai berkerut saat Ash kembali menuntunku menaiki tangga. Kami melalui beberapa bangunan tunggal yang bisa kuintip bagian dalamnya dari jendela. Bibirku tidak bisa berhenti berdecak kagum. Semakin menaiki tangga, semakin jelas pemandangan Pulau Santorini.

Ash membawaku ke sebuah bangunan tunggal yang atapnya terdiri dari kubah kaca. Cahaya terbiaskan dalam berbagai warna oleh kubah itu. Kuyakin, ujung pelangi salah satunya di sini.

Hanya ada satu ruangan di bangunan itu, semacam ruangan piagam. Aku melihat semua bagian dindingnya dihiasi lemari kaca berisi piala-piala. Lemari-lemari itu menjulang hingga menyentuh plafon. Lantainya dilapisi karpet merah. Dua jendela yang dihiasi pot-pot kecil tertanam di sisi yang saling berseberangan. Cahaya alami menerobos masuk lewat plafon, jendela dan pintu. Bahkan tanpa lampu pun, ruangan ini sudah terang.

Tepat di tengah ruangan, berdiri meja bundar dengan piala-piala besar di atasnya. Ada sekitar lima piala. Ash membawaku mendekat. Ia mengambil salah satu gulungan perkamen dari mangkuk salah satu piala, lalu menyangkutkannya pada sebuah lis aluminium di salah satu sisi ruangan yang kukira tempat menggantung tirai.
Gulungan perkamen itu tergelar hingga menyentuh lantai. Ash berjongkok. Aku berdiri di sisinya, pelan-pelan memahami apa yang terlukis di perkamen. Sebuah pohon keluarga.

"Ini adalah silsilah keluargamu," ungkap Ash, sambil mendongak padaku.

Dahiku mengernyit. Aku mengamati nama-nama yang tertera di sana. Ada banyak nama yang tidak kukenal. Benarkah ini keluargaku? Akan tetapi, ketika pandanganku mengarah pada bagian yang sedang ditunjuk Ash, bola mataku membelalak. Di sana, di salah satu cabang, tertulis jelas namaku.

Aku bergegas berjongkok, hampir mendorong Ash ke samping. Itu benar namaku. Dan itu nama ibuku, dan ayahku. Pamanku, bibiku, sepupu-sepupuku, nenek, kakek. Apa yang telah terjadi sebenarnya?

Kepalaku menoleh lambat pada Ash. Mataku nyalang menatapnya. "Apa kau stalker?"

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu tertawa. "Tidak. Sungguh."

Aku berdiri dengan cepat. "Lalu bagaimana kau bisa tahu nama-nama anggota keluargaku?"

Ash ikut berdiri. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia sadar ini bukan perkara mudah untukku. "Kami melakukan riset tentangmu."

"Kami?" Ada berapa kalian? "Siapa kalian?"

"Aku dan timku." Ash menjawab. "Ada enam anggotanya."

Aku kehabisan kata. Pemuda ini, dan semua hal yang berkaitan dengannya... Aku tak bisa begitu saja percaya. Tanganku naik untuk menjambak sanggulku sendiri. Ash mencegahnya dengan meraih lenganku. Dan aku menepisnya. "Lepaskan."

Ash patuh. Ia menjauh selangkah, mematung di sana sementara aku kesulitan mencerna yang terjadi. Suaranya rendah dan hati-hati saat berkata, "Aku tahu ini bukan hal yang mudah diterima. Aku sangat tahu kau butuh waktu untuk mencernanya. Maafkan aku karena menunjukkan hal ini secara tiba-tiba."

"Apa kau sedang menipuku?" gumamku dengan pandangan tak terarah. Ash menjawab tegas. "Tidak."

Mata kami bertemu. Iris matanya memantulkan refleksi cahaya dari atap. Bisakah aku percaya padanya?

"Jika kau sudah siap, aku akan bercerita tentang leluhurmu." Ia menyilangkan tangannya di punggung.

Baiklah. Tidak ada gunanya aku panik di sini. Aku sudah menyentuh pegangan tangga sepanjang perjalanan ke sini, sudah merasakan hangatnya cahaya matahari, sudah berpapasan dengan bapak tua tadi dan keledainya. Jika memang aku di Santorini, Ash juga pasti mampu mencari informasi tentangku hingga ke akar-akarnya. Jika memang ini sesuatu yang harus kucerna, aku tidak akan menelannya bulat-bulat sekarang. Aku akan menumpuk dan mengunyahnya perlahan nanti. Aku hanya akan mendengarkan.

"Ceritakan padaku yang kau tahu."

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/tz9GuiL

SemidevilWhere stories live. Discover now